Jumat, 14 Oktober 2016

Refleksi Polemik Adat Dayak dan Ritual Hindu Kaharingan

Jemari kaki masih enggan menginjak lantai, suara burung-burung menandakan hari yang cerah penuh gairah akan dimulai. Di sabtu pagi yang cerah, secangkir teh hangat dan wadai gabin susu cukup jadi teman asyik membuka timeline di sosial media.

Cukup mengejutkan, pagi saya disapa cuitan dan unggahan hangat. Ternyata sesuatu telah terjadi di luar sana disaat saya sedang terlelap. Orang-orang dayak tengah berdiskusi hangat cenderung memanas. Topiknya minggu ini adalah “adat dan ritual” yang seolah diperebutkan. Melihat ini, saya tidak tahan untuk senam jari juga dan menuangkan isi kepala saya.

Dayak, sebagai sebuah suku adalah suku asli Kalimantan. Dayak terbagi menjadi beberapa suku besar dan sub suku. Selayaknya beragam pulau di Indonesia, Kalimantan memiliki beragam budaya dan agama di dalamnya. Berdasarkan pengamatan, pulau Kalimantan masa kini tidak hanya dihuni oleh suku Dayak. Kemajuan zaman, teknologi, hingga globalisasi memungkinkan beragam suku “pindah rumah” ke Kalimantan. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri juga bahwa beragam agama ada di pulau “orang Dayak” masa kini. Perkembangan zaman juga menyebabkan beragam agama dianut oleh orang-orang Dayak. Walau, bukti sejarah dari beragam literatur menyatakan bahwa Dayak memiliki agama tua yang disebut agama helo yang di Kalimantan Tengah telah menjadi Kaharingan, yaitu sebuah nama yang merujuk pada agama asli suku Dayak yang digagas dan diprakarsai  oleh Damang Batu pada Rapat Besar Tumbang Anoi tahun 1894. Kemudian melalui perjuangan panjang SKDI (Serikat Dayak Kaharingan Indonesia) pada tahun 1950 dengan usaha menjadikan Kaharingan sebagai agama yang sah. Sayangnya perjalanan tersebut terkendala oleh beragam hal, hingga pilihan jatuh pada integrasi Kaharingan ke dalam Hindu di tahun 1980.
Integrasi berarti pembauran hingga menjadi kesatuan utuh yang bulat.
Tujuan integrasi adalah bergabung dan bersatu saling menguatkan. Lalu, mengapa Hindu?
Memang jika dilihat, itu adalah pilihan aneh. Karena Hindu adalah agama impor dari India. Hindu identik dengan orang-orang India. Nampaknya perlu membuka sedikit apa itu agama Hindu.

Agama Hindu adalah agama yang bermulai di India. Awalnya, Hindu bukanlah sebuah agama. Sebutan Hindu pada awalnya merupakan sebutan yang merujuk pada orang-orang yang mendiami sekitar sungai Sindhu dan memiliki tradisi dan keyakinan khas berbeda dari keyakinan orang eropa, dan juga muslim. Kemudian disebutlah Hindu karena orang eropa sulit menyebut Sindhu dengan tepat.

Terkait dengan integrasi, maka kita coba kritisi apa itu Hindu, bagaimana wujudnya dan seperti apa inti ajarannya.

Hindu adalah sebuah agama yang memiliki paham bahwa Tuhan adalah sesuatu yang abstrak. Para penganut memiliki hak untuk menggambarkan dan menghayati Tuhan dengan sebutan mereka masing-masing kepadanya. Karena, Tuhan adalah satu tetapi orang bijaksana menyebutknya dengan banyak nama “ekam sat viprah bahudha vadanti”. Kemudian terkait praktik beragama, Hindu memiliki konsep dasar yaitu desa, kala , dan patra. Hindu sepakat bahwa setiap praktik beragama akan muncul beragam sesuai dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (kondisi). Sehingga, perbedaan wujud atau tradisi beragam di dalam Hindu adalah wajar. Tidak perlu adanya sinkretisasi berlebih terhadap perbedaan. Karena, dasar yang utama dalah filsafat agama itu sendiri.

Alasan demikian yang menjadi keyakinann para tokoh Kaharingan masa lampau mengambil sikap untuk berintegrasi dengan Hindu dan menjadi Hindu Kaharingan. Memang pilihan tersebut tentu memiliki dampak. Kecurigaan beragam pihak muncul seiring berjalannya waktu, namun dibuktikan secara nyata dengan lestarinya ajaran agama helo yang utuh tanpa modifikasi dan sinkretisasi ajaran Hindu umum. Walau modifikasi terjadi, hanya terkait hal-hal non sakral. Misalnya, penggunaan teknologi sebagai penunjang kelancaran kegiatan ritual beragama.

Ternyata, fakta tersebut belum memuaskan kaum pecinta budaya Dayak. Kini muncul polemik yang dapat diamati nyata di dalam dunia maya. Saya tertegun, karena menurut penulis secara pribadi ada propaganda di dalamnya. Isu yang mencuat bukan tidak mungkin didasari kepentingan-kepentingan pihak yang ingin mengambil keuntungan terhadap ini. Sungguh berbahaya, jika tidak disikapi dengan bijak oleh semua orang Dayak dari berbagai latar belakang agama dan usia. Karena, konsep rumah betang, penyang hinje simpei paturung humba tamburak akan runtuh dengan sukses karena sikap tidak bijaksana terhadap ini.

Kini, saya menuangkan ide pemikiran dan isi kepala saya berlandaskan alasan ilmiah berikut. Menurut Maran (2000) kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia di dunia. Pada kebudayaan, manusia menempatkan jejak-jejaknya dalam panggung sejarah. Kebudayaan adalah cara manusia untuk hidup yang khas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam, dan merupakan strategi manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Secara etimologis kata kebudayaan berarti hal-hal yang berkaitan dengan akal yang berupa cipta, rasa dan karsa. Menurut Tylor (dalam Maran, 2000), adat termasuk di dalam kebudayaan yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah aturan berupa perbuatan yang lazim dilakukan sejak dahulu, cara yang sudah menjadi kebiasaan, atau wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan yang lain berkaitan menjadi satu sistem.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebhaktian, persembahyangan dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan. Kata agama diterjemahkan dari kata Inggris religion yang berasal dari bahasa latin religio. Kata ini terdiri dari dua patah kata, yakni re dan ligare. re berarti kembali dan ligare berarti mengikat. Jadi kata religio berarti ikatan atau pengikatan diri. Maksudnya, kehidupan beragama itu mempunyai tata aturan serta kewajiban yang harus ditaati oleh para pemeluknya. Tata aturan serta kewajiban termaksud diyakini sebagai sesuatu yang sesuai dengan kehendak yang Ilahi (Maran, 2000). Keyakinan akan Tuhan tersebut berangkat dari keterbatasan manusia yang membuatnya meyakini kekuatan di luar dirinya (Suhardana, 2009).
Berdasarkan definisi diatas, dapat dipahami bahwa antara adat dan agama adalah dua hal yang berbeda walaupun menjadi satu kesatuan di dalam kebudayaan. Baik adat maupun agama adalah pembentuk kebudayaan secara keseluruhan. Namun, dalam beragama atau agama terdapat komponen yang khas yang membedakannya dengan adat. Kehidupan beragama dibentuk dengan komponen religi, yang menurut Koentjaraningrat (dalam Agus, 2006) adalah emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus dan upacara, peralatan ritus dan upacara, dan umat beragama. Keseluruhannya itulah yang membentuk kehidupan beragama.

Definisi dan pemahaman diatas dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan menyikapi polemik ini. Sehingga, umat Hindu Kaharingan tidak seharusnya bersikap arogan dan angkuh serta merta tidak memberi hak kepada orang Dayak non Hindu Kaharingan untuk mencintai dan melaksanakan “adat”nya. Adat yang dimaksud tentunya bukan adat yang mencampuri ranah ritual yang sakral. Karena jika itu terjadi maka sudah jelas itu adalah pelecehan dan penistaan bagian dari agama yang adalah sesuatu yang sakral.

Karena, semua orang Dayak memiliki hak untuk menjadi Dayak yang mencintai warisan nenek moyangnya. Demikian juga bagi semua orang Dayak non Hindu Kaharingan, seharusnya mampu menempatkan diri dengan bijaksana, tidak melakukan tindakan tidak terpuji dengan interpretasi sepihak dan subjektif terhadap ajaran agama orang lain. Karena, agama adalah hal prinsipil dan sakral. Setiap pemeluk agama memiliki dasar beragama, sebagai ekspresi kecintaan terhadap Tuhan. Bahkan, penistaan dan gangguan terhadap hak tersebut jelas tidak diperbolehkan di dalam NKRI yang ber asas “Ketuhanan Yang Maha Esa Ini”, dengan UUD 1945 nya tentang hak memeluk agama.

Kesimpulan yang wajib menjadi bahan refleksi di sabtu cantik hari ini adalah. Apakah hakikat dan tujuan dari agama? Bukankah kita semua dengan latar belakang agama yang berbeda diajarkan untuk membangun dunia yang harmonis? Bukankah agama adalah sebagai pedoman hidup yang memberi nilai dalam kehidupan setiap penganutnya?

Jika setuju, mari kita bungkam opini opini menyimpang dan menyakiti yang muncul dari agama kita, kita tegur umat kita yang tidak bijaksana. Karena, kita hidup bersama di dalam bumi borneo, bumi penuh misteri dan kaya, kita adalah orang Dayak yang bermartabat dan bijaksana. Jika cinta ke-Dayak an mu, maka usahakan lah konsep Huma betang, atau Huma Hai dan penyang hinje simpei paturung humba tamburak. Jangan biarkan orang luar tertawa dan mengambil keuntungan atas perpecahan di dalam kita.
Yang setuju silahkan bagikan tulisan saya di hari ini, mari kita cinta mencintai, sudahi perdebatan tidak konstruktif ini.

Salam cinta dari saya, penulis blog Hintan Kaharingan di pagi sabtu cantik ditemani secangkir teh manis dan wadai gabin susu, Tabe.

6 komentar:

  1. Sebuah analisis yang bijaksana... salam damai

    BalasHapus
  2. Yang dimaksud dengan Penulis itu siapa dan ada dimana artikel tersebut dimaksud dalam dunia maya, mohon berkenan untuk menjelaskannya.

    BalasHapus
  3. agama Kaharingan merupakan kepercayaan asli suku dayak di Kalimantan

    BalasHapus