Dewasa ini, di
Indonesia yang dikenal dengan negara agama bukanlah hal yang sulit menjumpai
berbagai praktik ritual keagamaan. Dengan dikenalnya berbagai agama dengan tata
caranya yang bermacam macam, khususnya agama Hindu yang memiliki keragaman tata
cara di berbagai suku dan daerah di Indonesia. Seperti dikemukakan Emile
Durkheim bahwa agama tidak lain merupakan sistem keyakinan dan praktik terhadap
hal-hal yang sakral, yakni keyakinan dan praktik yang membentuk suatu moral
komunitas pemeluknya. Serta menegaskan bahwa keyakinan-keyakinan keagamaan
tidak lain merupakan refleksi dari masyarakat itu sendiri, dengan ritual
keagamaan yang melaluinya solidaritas kelompok diperkuat dan kepercayaan kepada
tatanan moral ditegaskan kembali.
Sehingga dapat
dipahami bahwa praktik keagamaan berupa upacara, hingga persembahyangan
merupakan bentuk pengapresiasian keagamaan oleh pemeluknya. seperti misalnya,
di Hindu Kaharingan Kalimantan
Tengah. Mengenal sarana persembahyangan berupa Sangku Tambak Raja, yang berisikan berbagai macam
upakara, yaitu; wadah kuningan (sangku),
beras, telur, minyak kelapa, duit singah hambaruan, bulu burung tingang,
sirih pinang, rokok, bunga, beras hambaruan
dalam bungkusan kain putih, dan kain alas sangku,
yang memiliki makna;
1. Sangku,
biasanya digunakan dalam setiap upacara persembahyangan (basarah) yang dalam bahasa sangiang disebut “Sangku Tambak Raja, Saparanggun dalam kangantil bawak lamiang” yang
artinya sangku yang telah dilengkapi
berbagai macam alat basarah. Sebagai
wadah semua upakara lainnya, sangku
memiliki makna penyatuan jiwa dan raga dalam melaksanakan basarah kepada Ranying Hatalla Langit Tuhan Yang
Maha Esa.
2. Beras,
atau dalam bahasa sangiang dikenal dengan sebutan behas manyangen tingang. Menurut mitologi Hindu Kaharingan, Ranying Hatalla Langit menciptakan beras untuk
kelangsungan hidup Raja Bunu dan keturunannya (manusia). Selain itu, beras
memiliki keistimewaan sebagai penghubung Ranying
Hatalla Langit dengan manusia. Seperti disampaikan dalam auh manawur: “balang bitim jadi isi, hampuli balitam jadi daha, dia balang bitim
injamku akan duhung luang rawei pantai danum kalunen, isen hampuli balitam bunu
bamban panyaruhan tisui luwuk kampungan bunu”. Artinya; “behas manyangen
tingang, bukan saja sebagai kelangsungan hidup manusia, namun ia juga sebagai
perantara manusia dengan yang kuasa, juga perantara manusia dengan leluhur.
3. Bulu
burung tingang, dikenal dalam bahasa sangiang “Tingang Rangga Bapantung Nyahu” yang memiliki makna tersendiri dari
ke-khasan warna di bulu nya, yaitu berwarna putih di bagian atas, berwarna
hitam dibagian tengah, dan putih di paling bawah. Adapun mengandung makna, Warna putih bagian atas, berarti alam
kekuasaan Ranying Hatalla Langit (
Tuhan Yang Maha Esa) Ia yang Maha Suci
atau dalam keyakinan Hindu Kaharingan disebut Lewu
Tatau. Warna hitam ditengah, berarti alam kehidupan manusia didunia ini
yang penuh dengan pertentangan, perselisihan, baik antara kebenaran dengan
ketidakbenaran. Serta, Warna putih dibagian bawah berarti kesucian yang dapat
dicapai melalui usaha individu melawan ketidakbenaran (adharma) yang pada saatnya, bila dihubungkan dengan upacara keagamaan
Hindu Kaharingan yaitu sampai pada
upacara Tiwah/Wara.
4. Sipa (sirih
pinang) dan ruku (rokok), penggunaan
kedua sarana ini karena menurut kisah penciptaan dimana Manyamei Tunggul Garing
dan Kameluh Putak bulau berubah wujudnya atas kehendak Ranying Hatalla menjadi
Mangku Amat Sangen dan Nyai Jaya Sangiang, yang pada suatu ketika pada saat ia
mengobati Raja Pampulu Hawun keduanya bagian-bagian tubuhnya berubah menjadi
berbagai macam benda seperti biji mata nya berubah menjadi pinang, otaknya
berubah menjadi kapur sirih, dll. Sehingga penggunaan sirih pinang dan rokok
adalah perlambang penyatuan jiwa dan raga dalam pelaksanaan basarah.
5. Duit
singah hambaruan, biasanya digunakan uang yang merupakan simbol
penyempurna segala kekurangan upakara. Pada jaman dahulu digunakan mata uang
emas atau logam, namun seiring perkembangan jaman maka pada saat ini digunakan
mata uang yang berlaku.
6. Minyak
kelapa, atau dalam bahasa sangiang dikenal sebagai minyak bangkang haselan tingang uring katilambung nyahu , memiliki makna
dalam hakikatnya minyak yang licin dan berasal dari buah yang suci (buah
kelapa/bua katilambung nyahu) dapat
membersihkan semua kekotoran dan hal hal yang tidak baik agar tidak menempel di
diri manusia.
7. Telur
ayam, yang disebut tanteluh manuk darung
tingang yang diletakkan ditengah tengah antara bulu burung tingang dan
minyak kelapa pada akhir upacara akan dioleskan ke tubuh peserta basarah merupakan simbol pensucian diri
serta permohonan keselamatan dan kesejahteraan.
8. Kain
alas sangku, melambangkan keindahan
dan diyakini sebagai perlambang keindahan alam semesta karunia Ranying Hatalla Langit.
9. Bunga
atau kembang, selalu digunakan dalam upacara basarah dan ditempatkan di Sangku Tambak Raja, maknanya
agar laksana bunga tersebut yang harum semerbak, manusia akan menerima anugrah
yang baik dari Ranying Hatalla Langit.
10. Beras
hambaruan adalah beras yang dipilih
sebanyak 7 (tujuh) biji. Biji beras yang dipilih merupakan beras terbaik, tanpa
cacat kemudian dibungkus kain putih dan diletakkan di tengah-tengah sangku. Merupakan perlambang raja uju
hakanduang, hanya basakati yang akan menjadi perantara Ranying Hatalla Langit memberikan anugerah kepada manusia yang pada
akhir persembahyangan dibagikan kepada semua yang hadir.
Demikianlah
salah satu contoh praktik keagamaan dalam Agama Hindu Kaharingan, dimana dengan berbagai macam sarana yang telah
diwariskan secara turun-temurun masih digunakan hingga saat ini. Namun, di era
modern saat ini, kesulitan mencari upakara tertentu menumbuhkan kreatifitas dan
daya pikir manusia. Misalnya dalam penggunaan sangku, pada masa ini cukup sukar mencari atau menemukan sangku
berbahan dasar kuningan seperti yang biasa digunakan pada masa lalu. Dalam hal
ini, penggunaan wadah lain misalnya mangkuk stainles, alumunium, porselen, dan
lain sebagainya tidak dilarang, asalkan bersih dan layak digunakan. Tentunya
penggantian beberapa upakara tidak mempengaruhi maknanya. Hal tersebut
merupakan contoh pengaruh kemajuan teknologi di bidang upacara keagamaan. Sehingga,
seharusnya kemajuan jaman berjalan seimbang dan memberi efek positif juga di
bidang keagamaan. Yaitu mempermudah manusia melaksanakan upacara keagamaannya.
Seperti halnya di Kalimantan Tengah, terkadang pada masa kini mengalami
kesulitan dalam melaksanakan upacara yang menggunakan kesenian tradisional
kecapi rebab. Apabila tidak memungkinkan dimainkan langsung, maka dapat diganti
dengan rekaman kaset melalui audio sistem. Sehingga, upacara dapat berlangsung
dengan lancar.
Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan juga dapat mempengaruhi
sistem religi dan upacara keagamaan, untuk mempermudah kegiatan keagamaan namun
tetap tidak harus menghilangkan makna dari pelaksanaannya.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTabe pahari Reno, tabe pahari Kunti
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus