![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjL9h5yfh8dq-aC1a_o60tbaSyDorCXHH6uKWsPRBUlb3k8w5TZCBmi4PKPgGHUw9BtURbYrzUutlNhBDPEQns1y_1k56FKmULXR6GpDJdRl1xRd3q984kIcitNZ9QHWYC1-DYcW3Wy_w/s320/dayak1.jpg)
Propinsi Kalimantan Tengah secara astronomi berada pada posisi 0045’ Lintang Utara (LU-3031’ Lintang Selatan (LS) dan antara 1100-1160 Bujur Timur (BT). Secara geogafis berbatasan dengan propinsi Kalimantan Timur di sebelah timur. Luas wilayah Kalimantan Tengah secara keseluruhan sekitar 153.546 km2 atau lebih kurang 7,95% dari keseluruhan luas Indonesia, terdiri dari hutan belantara seluas 126.200km2, rawa-rawa 18.115 km2, sungai, danau, dan genangan air lainnya seluas 4.563 km2 serta pertanahan lainnya seluas 4.686 km2.
Dalam bahasa setempat, Kalimantan berarti pulau yang memiliki sungai-sungai besar (kali ‘sungai’; mantan ‘besar’). Pulau Kalimantan dikenal juga dengan nama Brunai, Borneo, Tanjung Negara (pada masa Hindu), dan dengan nama setempat Pulau Bagawan Bawi Lewu Telo.
Keyakinan asli suku Dayak Kalimantan tengah adalah Agama Helu yang kemudian dikenal dengan sebutan Kaharingan atau Hindu Kaharingan setelah integrasi dengan Agama Hindu pada Tahun 1980.
Hindu Kaharingan adalah kepercayaan tertua di Kalimantan Tengah. Agama Hindu Kaharingan ini sudah menyatu erat dengan kebudayaan dan tata cara kehidupan suku Dayak, baik dari bahasa, tata kehidupan, dan ajaran-ajaran yang termasuk filosofi hidup suku Dayak. Hal tersebut yang menyebabkan suku Dayak dan Hindu Kaharingan menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan seperti raga dan roh (jiwa).
Hindu Kaharingan menyebutkan bahwa leluhur suku Dayak adalah Raja Bunu sebagai manusia yang diturunkan oleh Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) ke Pantai Danum Kalunen (Dunia). Hal tersebut tertulis dalam Kitab Suci Panaturan (sumber susastra Agama Hindu Kaharingan) yang menggunakan Bahasa Sangiang yang merupakan bahasa tertua yang kemudian menjadi induk dari beragam bahasa daerah yang ada di Kalimantan Tengah, sebagai berikut:
"Limbah uras jadi batatap, te Ranying Hatalla malaluhan Raja Bunu ewen hanak hajarian tuntang kare raja-raja ije mandengan ewen mahapan Palangka Bulau Lambayung Nyahu, balua Tumbang Lawang Langit, nanturung Bukit Samatuan hila Pantai Danum Kalunen, hayak te kea ewen nunjung tukii tingang, mangkat lahap rawing hangka uju lulang luli, naharep kabaluman matan andau belum".
(Panaturan, Pasal 37; Ayat 15)
Artinya:
Setelah semuanya sudah siap, maka Ranying Hatalla mulai menurunkan Raja Bunu sekeluarga dan beberapa Raja-Raja yang mendampingi mereka, memakai Palangka Bulau Lambayung Nyahu keluar dari Tumbang Lawang Langit, menuju puncak Bukit Samatuan di Pantai Danum Kalunen (Dunia), bersama itu pula mereka mengangkat tukii tingang (pekikan pujian kepada Ranying Hatalla) serta malahap tujuh kali menghadap matahari terbit.
Demikianlah, dijelaskan melalui Panaturan, suku Dayak adalah anak keturunan Raja Bunu yang mendiami dunia dan mendapatkan ajaran tata cara kehidupan dari Ranying Hatalla Langit Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Raja Tuntung Matan Andau, Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan. Sebagai Agama Helu, agama tertua suku Dayak Kalimantan Tengah, Agama Hindu Kaharingan adalah agama yang diteruskan secara turun-menurun sebagai ajaran lisan. seiring perkembangan waktu, Panaturan sebagai kitab suci Agama Hindu Kaharingan disusun demi mempermudah umat Hindu Kaharingan mendapatkan sumber dan acuan tertulis.
sumber :
Panaturan, 2003. Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Kalimantan Tengah.
Maneser Panatau Tatu Hiang, Menyelami Kekayaan Leluhur, Dra. Nila Riwut.
Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan, Tjilik Riwut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar