Kamis, 30 Januari 2014

Ajaran Sebab Akibat (Karmaphala) dalam Panaturan

Terimakasih kepada Ranying Hatalla Langit,
Terimakasih kepada Sahur Parapah Baragantung Langit Baratuyang Hawun,
Terimakasih kepada orang-orang suci penyampai ilmu pengetahuan suci Panaturan
Semoga menjadi terang untuk semua mahluk,

Nyahu hai kilat balawa
Auh peteh Ranying Hatalla
Kaharingan tetep dehen i-haga
Nyamah petak langit i-naheta
(Kandayu Parawei:8)

Manusia adalah mahluk dengan tingkat kecerdasan tinggi yang dianugrahi kemampuan berpikir. Kemampuan tersebut yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya yang juga mendiami bumi ini. Kecerdasan tersebut dianugrahi untuk memilah dan menelaah semua hal dalam kehidupannya. Dengan pengetahuan tersebut juga manusia menjadi lebih piawai mendayagunakan semua kekayaan alam demi meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Dalam Hindu, perbuatan dikenal dengan istilah karma. Karma adalah semua hal yang dilakukan oleh manusia yang berasal dari keinginan, pemikiran dan tindakannya yang sejalan yang kemudian menjadi perbuatan atau karma. Ketiga hal teraebut diibaratkan unsur-unsur pembentuk karma itu sendiri secara utuh.
Sedangkan karmaphala berarti hasil perbuatan atau sebab akibat. Dimana karma berarti perbuatan dan phala berarti buah atau sebab dari perbuatan yang di lakukan. Semua hal yang terjadi di dunia ini adalah perwujudan dari sebab akibat yang saling terkait. Bahkan tidak ada satu hal pun di dunia yang dapat menghindari hukum sebab akibat tersebut. Seperti halnya keseimbangan alam yang dapat berubah sewaktu waktu akibat ulah manusia yang mencemari alam. Dari karma nya tersebut manusia menanggung bencana dan ketidakstabilan alam. Namun, terkadang ketidaksadaran tentang itu membuat manusia menyalahkan Tuhan yang dianggap tidak adil memberikan "cobaan" sedemikian rupa kepada umatnya.
Padahal sesungguhnya Tuhan pun tak dapat merubah ketentuan hukum karmaphala tersebut dengan seenaknya. Karena dari sanalah keadilan lahir dan memberikan pelajaran berharga pada semua mahluk. Pikiran, keinginan dan tindakan manusia harus selalu terkendali secara sadar. Seperti halnya para yogi yang menjaga disiplin yoga nya dalam keteraturan dan mengolah dirinya untuk memutus ikatan sebab akibat dan menghilangkan samsara dari dunia materiil ini.
Pandangan tentang karmaphala adalah sesuatu yang universal, walau dipahami dengan berbagai nama di dalam banyak kebudayaan dan ajaran tentang tingkah laku. Hampir semua hukum kehidupan di dunia ini menerapkannya walau tidak secara gamblang menyatakan hal tersebut adalah merupakan bentuk hukum karmaphala dalam nama yang berbeda. Contohnya hukuman pidana bagi pelaku kejahatan yang merupakan karmaphala langsung yang diterima dari sebuah perbuatan yang merugikan baik. Seperti halnya sebuah benih ditanam, buah mangga akan menjadi pohon mangga, padi akan menjadi beras, apel akan menjadi pohon apel, dan lain sebagainya.
Dalam Panaturan, ajaran karmaphala juga disampaikan melalui kisah Raja Bunu dalam Pasal 23: Raja Sangen, Raja Sangiang, dan Raja Bunu dianugrahi, dan Pasal 24: Raja Sangen, Raja Sangiang, dan Raja Bunu dianugrahi Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan. Dalam kedua pasal tersebut diceritakan perjalanan ketiga putra Manyamei Tunggul Garing dan Kameluh Putak Bulau yang sudah beranjak remaja. Ketiga putranya tersebut gemar bermain-main dipinggiran sungai. Hingga suatu ketika Ranying Hatalla menganugrahi mereka sepotong besi di sungai ketika mereka bertiga sedang asyik mandi di sana. Begitu melihat sepotong besi tersebut, mereka bertiga berebut untuk mengambilnya.
Entah bagaimana Raja Sangen dan Raja Sangiang mengambil besi di bagian yang timbul di permukaan air dan Raja Bunu mengambil bagian yang tenggelam di air, kemudian Ranying Hatalla bersabda:

Rimae, hila puntung sanaman ije lampang, ain Raja Sangen tuntang Raja Sangiang iete puna inatap awi Ranying Hatalla ewen ndue Jatha Balawang Bulau akan mahaga pambelum ije katatahie
(Panaturan, Pasal 23:23)

Artinya:
Maksudnya, bagian ujung besi yang timbul kepunyaan Raja Sangen dan Raja Sangiang sesungguhnya sudah ditetapkan oleh Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau bahwa mereka berdua memelihara kehidupan yang kekal abadi untuk selama-lamanya.

Raja Bunu tempun hila puntung sanaman ije leteng, iatuh awi Ranying Hatalla ewen ndue Jatha Balawang Bulau mahaga Lewu Injam Tingang, pantai danum kalunen kareh ije bagin matei.
(Panaturan, Pasal 23:24)

Artinya:
Raja Bunu mendapatkan bagian besi yang tenggelam, juga telah ditetapkan oleh Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau untuk memelihara kehidupan dunia, yang sifatnya hanya sementara.

Demikian Ranying Hatalla menetapkan segala sesuatunya dari karma yang diperbuat oleh ketiga putra Manyamei Tunggul Garing dan Kameluh Putak Bulau. Bahkan ketetapan Tuhan sekalipun tidak dapat tiba-tiba muncul tanpa sebuah sebab. Demikian keseimbanga  tercipta dari hukum yang tetap dan tak dapat terelakkan. Bukan suatu takdir yang bahkan tidak diketahui apa alasan dan mengapa dapat terjadi demikian.
Seperti halnya manusia dan alam semesta yang berevolusi secara perlahan dengan saling menyesuaikan antara semua hal di dalamnya. Manusia yang berevolusi dari masa kemasa, dimana kebudayaan pun berkembang dari pembelajaran dan pengalaman yang menjadi sebab sebuah tindakan. Dimana semua itu adalah ketetapan yang akan selalu terjadi dalam keseharian manusia yang dinamis.

Selain itu dalam Panaturan Pasal 24 diceritakan ketiga putra Manyamei Tunggul Garing yaitu Raja Sangen, Raja Sangiang, dan Raja Bunu pergi berburu ke dalam hutan disekitaran Lewu Batu Nindan Tarung Kereng Liang Bantilung Nyaring. Ayah dan Ibu mereka telah berpesan sebelumnya bahwa mereka bertiga sebaiknya hanya berburu di tempat tersebut dan dilarang memasuki Bukit Engkan Penyang. Namun, Raja Sangen mengajak kedua saudaranya untuk pergi ke Bukit Engkan Penyang karena di tempat mereka berburu mereka belum mendapatkan seekorpun binatang buruan. Atas bujukan Raja Sangen, kedua saudaranya pun terbujuk untuk pergi berburu dan melanggar larangan kedua orang tua mereka.
Sesampainya disana, mereka melihat Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan dan kemudian mengejarnya. Mereka saling berebutan dantarik menarik untuk memiliki binatang tersebut. Mendengar keributan tersebut maka datanglah ayah mereka Manyamei Tunggul Garing dan berkata; "wahai anakku bertiga janganlah berebutan Gajah Bakapek Bulau tersebut, kalian bertiga dapat bersama-sama memilikinya dan memeliharanya"
Namun perkataan ayah mereka tersebut tidak diperdulikan oleh ketiganya. Raja Sangen kemudian menikam Gajah Bakapek Bulau tersebut hingga darahnya menyembur keluar. Kemudian darahnya keluar dan menjelma menjadi berbagai macam harta kekayaan. Melihat hal tersebut Manyamei Tunggul Garing kemudian mengusap luka bekas tikaman Raja Sangen dan kemudian luka tersebut hilang tak berbekas.
Namun, Raja Sangiang kembali menikam Gajah Bakapek Bulau dan darahnya yang menyembur keluar kembali menjadi berbagai harta kekayaan. Tetapi, lagi -lagi Manyamei Tunggul garing mampu menghilangkan dan menyembuhkan kembali luka tersebut dengan usapannya. Hingga akhirnya tiba saatnya Raja Bunu menikam Gajah Bakapek bulau tersebut dan kemudian:

Sukup jadi daha Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan panjanjuri, ie uluh tingang apange Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, nekap marut awan tambekan Duhung Papan Benteng Raja Bunu kueh tau halit haluli.
(Panaturan Pasal 24:35)

Artinya:
Masih bercucuran darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan keluar maka ayahnya Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut kembali mengusap bekas tikaman Duhung Papan Benteng Raja Bunu namun tidak dapat kembali seperti semula.

Demikian kemudian darah yang mengalir menjadi semua harta kekayaan yang terkandung di dunia. Memenuhi sungai-sungai dan menjadi semua logam mulia. Menjadi juga kayu-kayuan sumber kehidupan umat manusia, menjadi obat-obatan penangkal segala macam penyakit.
Demikianlah semua hal tersebut terjadi pada asal mulanya.

Makna filosofis dari semua cerita Kitab suci Panaturan trrsebut adalah, hukum sebab akibat ada dalam keseharian manusia. Seperti halnya kelahirannya dalam dunia tidak kekal disebabkan karmaphala yang masih tersisa dan tidak habis diterima dalam kehidupan trrdahulu nya (prarabdha karmaphala), seperti halnya ketentuan Ranying Hatalla kepada Raja Bunu. Sehingga itulah yang disebut Tuhan Maha Adil dalam Hindu. Selain itu manusia diajarkan untuk selalu waspada dan bertanggungjawab terhadap semua tingkah laku nya. Semua hal yang ada di dunia ini bukan tanpa alasan muncul begitu saja. Seperti halnya sumber segala pengetahuan (Vid) yang suci yang tercipta dari karma dan karya para Sapta Rsi penerima wahyu, dimana semua adalah sebab dari perenungan kembali dan juga pembelajaran serta tapa brata yang kuat untuk menemukan semua hal baik yang dapat membantu kelangsungan hidup manusia. Sehingga manusia adalah sebab dari semua akibat yang ada. Jadi, berlakulah sadar dalam kesadaran karmaphala untuk keselarasan dan keseimbangan mikro dan makro kosmos.

1 komentar:

  1. om swastyastu
    saya mau tanya adakah situs yang memuat semua isi dari kitab suci panaturan. karena saya tidak memiliki kitab tersebut

    BalasHapus