Jumat, 27 Maret 2015

PENGARUH KEMAJUAN TEKNOLOGI DALAM BASARAH HINDU KAHARINGAN KALIMANTAN TENGAH


 
Dewasa ini, di Indonesia yang dikenal dengan negara agama bukanlah hal yang sulit menjumpai berbagai praktik ritual keagamaan. Dengan dikenalnya berbagai agama dengan tata caranya yang bermacam macam, khususnya agama Hindu yang memiliki keragaman tata cara di berbagai suku dan daerah di Indonesia. Seperti dikemukakan Emile Durkheim bahwa agama tidak lain merupakan sistem keyakinan dan praktik terhadap hal-hal yang sakral, yakni keyakinan dan praktik yang membentuk suatu moral komunitas pemeluknya. Serta menegaskan bahwa keyakinan-keyakinan keagamaan tidak lain merupakan refleksi dari masyarakat itu sendiri, dengan ritual keagamaan yang melaluinya solidaritas kelompok diperkuat dan kepercayaan kepada tatanan moral ditegaskan kembali.
Sehingga dapat dipahami bahwa praktik keagamaan berupa upacara, hingga persembahyangan merupakan bentuk pengapresiasian keagamaan oleh pemeluknya. seperti misalnya, di Hindu Kaharingan Kalimantan Tengah. Mengenal sarana persembahyangan berupa Sangku Tambak Raja, yang berisikan berbagai macam upakara, yaitu; wadah kuningan (sangku), beras, telur, minyak kelapa, duit singah hambaruan, bulu burung tingang, sirih pinang, rokok, bunga, beras hambaruan dalam bungkusan kain putih, dan kain alas sangku, yang memiliki  makna;
1.  Sangku, biasanya digunakan dalam setiap upacara persembahyangan (basarah) yang dalam bahasa sangiang disebut “Sangku Tambak Raja, Saparanggun dalam kangantil bawak lamiang” yang artinya sangku yang telah dilengkapi berbagai macam alat basarah. Sebagai wadah semua upakara lainnya, sangku memiliki makna penyatuan jiwa dan raga dalam melaksanakan basarah kepada Ranying Hatalla Langit Tuhan Yang Maha Esa.
2.   Beras, atau dalam bahasa sangiang dikenal dengan sebutan behas manyangen tingang. Menurut mitologi Hindu Kaharingan, Ranying Hatalla Langit menciptakan beras untuk kelangsungan hidup Raja Bunu dan keturunannya (manusia). Selain itu, beras memiliki keistimewaan sebagai penghubung Ranying Hatalla Langit dengan manusia. Seperti disampaikan dalam auh manawur: “balang bitim jadi isi, hampuli balitam jadi daha, dia balang bitim injamku akan duhung luang rawei pantai danum kalunen, isen hampuli balitam bunu bamban panyaruhan tisui luwuk kampungan bunu”. Artinya; “behas manyangen tingang, bukan saja sebagai kelangsungan hidup manusia, namun ia juga sebagai perantara manusia dengan yang kuasa, juga perantara manusia dengan leluhur.
3.    Bulu burung tingang, dikenal dalam bahasa sangiang “Tingang Rangga Bapantung Nyahu” yang memiliki makna tersendiri dari ke-khasan warna di bulu nya, yaitu berwarna putih di bagian atas, berwarna hitam dibagian tengah, dan putih di paling bawah. Adapun mengandung makna, Warna putih bagian atas, berarti alam kekuasaan Ranying Hatalla Langit ( Tuhan Yang Maha Esa) Ia  yang Maha Suci atau dalam keyakinan Hindu Kaharingan  disebut Lewu Tatau. Warna hitam ditengah, berarti alam kehidupan manusia didunia ini yang penuh dengan pertentangan, perselisihan, baik antara kebenaran dengan ketidakbenaran. Serta, Warna putih dibagian bawah berarti kesucian yang dapat dicapai melalui usaha individu melawan ketidakbenaran (adharma) yang pada saatnya, bila dihubungkan dengan upacara keagamaan Hindu Kaharingan yaitu sampai pada upacara Tiwah/Wara.
4.  Sipa (sirih pinang) dan ruku (rokok), penggunaan kedua sarana ini karena menurut kisah penciptaan dimana Manyamei Tunggul Garing dan Kameluh Putak bulau berubah wujudnya atas kehendak Ranying Hatalla menjadi Mangku Amat Sangen dan Nyai Jaya Sangiang, yang pada suatu ketika pada saat ia mengobati Raja Pampulu Hawun keduanya bagian-bagian tubuhnya berubah menjadi berbagai macam benda seperti biji mata nya berubah menjadi pinang, otaknya berubah menjadi kapur sirih, dll. Sehingga penggunaan sirih pinang dan rokok adalah perlambang penyatuan jiwa dan raga dalam pelaksanaan basarah.
5.    Duit singah hambaruan, biasanya digunakan uang yang merupakan simbol penyempurna segala kekurangan upakara. Pada jaman dahulu digunakan mata uang emas atau logam, namun seiring perkembangan jaman maka pada saat ini digunakan mata uang yang berlaku.
6.    Minyak kelapa, atau dalam bahasa sangiang dikenal sebagai minyak bangkang haselan tingang uring katilambung nyahu , memiliki makna dalam hakikatnya minyak yang licin dan berasal dari buah yang suci (buah kelapa/bua katilambung nyahu) dapat membersihkan semua kekotoran dan hal hal yang tidak baik agar tidak menempel di diri manusia.
7.    Telur ayam, yang disebut tanteluh manuk darung tingang yang diletakkan ditengah tengah antara bulu burung tingang dan minyak kelapa pada akhir upacara akan dioleskan ke tubuh peserta basarah merupakan simbol pensucian diri serta permohonan keselamatan dan kesejahteraan.
8.   Kain alas sangku, melambangkan keindahan dan diyakini sebagai perlambang keindahan alam semesta karunia Ranying Hatalla Langit.
9.  Bunga atau kembang, selalu digunakan dalam upacara basarah dan ditempatkan di Sangku Tambak Raja, maknanya agar laksana bunga tersebut yang harum semerbak, manusia akan menerima anugrah yang baik dari Ranying Hatalla Langit.
10. Beras hambaruan adalah beras yang dipilih sebanyak 7 (tujuh) biji. Biji beras yang dipilih merupakan beras terbaik, tanpa cacat kemudian dibungkus kain putih dan diletakkan di tengah-tengah sangku. Merupakan perlambang raja uju hakanduang, hanya basakati yang akan menjadi perantara Ranying Hatalla Langit memberikan anugerah kepada manusia yang pada akhir persembahyangan dibagikan kepada semua yang hadir. 
Demikianlah salah satu contoh praktik keagamaan dalam Agama Hindu Kaharingan, dimana dengan berbagai macam sarana yang telah diwariskan secara turun-temurun masih digunakan hingga saat ini. Namun, di era modern saat ini, kesulitan mencari upakara tertentu menumbuhkan kreatifitas dan daya pikir manusia. Misalnya dalam penggunaan sangku, pada masa ini cukup sukar mencari atau menemukan sangku berbahan dasar kuningan seperti yang biasa digunakan pada masa lalu. Dalam hal ini, penggunaan wadah lain misalnya mangkuk stainles, alumunium, porselen, dan lain sebagainya tidak dilarang, asalkan bersih dan layak digunakan. Tentunya penggantian beberapa upakara tidak mempengaruhi maknanya. Hal tersebut merupakan contoh pengaruh kemajuan teknologi di bidang upacara keagamaan. Sehingga, seharusnya kemajuan jaman berjalan seimbang dan memberi efek positif juga di bidang keagamaan. Yaitu mempermudah manusia melaksanakan upacara keagamaannya. Seperti halnya di Kalimantan Tengah, terkadang pada masa kini mengalami kesulitan dalam melaksanakan upacara yang menggunakan kesenian tradisional kecapi rebab. Apabila tidak memungkinkan dimainkan langsung, maka dapat diganti dengan rekaman kaset melalui audio sistem. Sehingga, upacara dapat berlangsung dengan lancar.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan juga dapat mempengaruhi sistem religi dan upacara keagamaan, untuk mempermudah kegiatan keagamaan namun tetap tidak harus menghilangkan makna dari pelaksanaannya.