Kamis, 30 Januari 2014

Ajaran Sebab Akibat (Karmaphala) dalam Panaturan

Terimakasih kepada Ranying Hatalla Langit,
Terimakasih kepada Sahur Parapah Baragantung Langit Baratuyang Hawun,
Terimakasih kepada orang-orang suci penyampai ilmu pengetahuan suci Panaturan
Semoga menjadi terang untuk semua mahluk,

Nyahu hai kilat balawa
Auh peteh Ranying Hatalla
Kaharingan tetep dehen i-haga
Nyamah petak langit i-naheta
(Kandayu Parawei:8)

Manusia adalah mahluk dengan tingkat kecerdasan tinggi yang dianugrahi kemampuan berpikir. Kemampuan tersebut yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya yang juga mendiami bumi ini. Kecerdasan tersebut dianugrahi untuk memilah dan menelaah semua hal dalam kehidupannya. Dengan pengetahuan tersebut juga manusia menjadi lebih piawai mendayagunakan semua kekayaan alam demi meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Dalam Hindu, perbuatan dikenal dengan istilah karma. Karma adalah semua hal yang dilakukan oleh manusia yang berasal dari keinginan, pemikiran dan tindakannya yang sejalan yang kemudian menjadi perbuatan atau karma. Ketiga hal teraebut diibaratkan unsur-unsur pembentuk karma itu sendiri secara utuh.
Sedangkan karmaphala berarti hasil perbuatan atau sebab akibat. Dimana karma berarti perbuatan dan phala berarti buah atau sebab dari perbuatan yang di lakukan. Semua hal yang terjadi di dunia ini adalah perwujudan dari sebab akibat yang saling terkait. Bahkan tidak ada satu hal pun di dunia yang dapat menghindari hukum sebab akibat tersebut. Seperti halnya keseimbangan alam yang dapat berubah sewaktu waktu akibat ulah manusia yang mencemari alam. Dari karma nya tersebut manusia menanggung bencana dan ketidakstabilan alam. Namun, terkadang ketidaksadaran tentang itu membuat manusia menyalahkan Tuhan yang dianggap tidak adil memberikan "cobaan" sedemikian rupa kepada umatnya.
Padahal sesungguhnya Tuhan pun tak dapat merubah ketentuan hukum karmaphala tersebut dengan seenaknya. Karena dari sanalah keadilan lahir dan memberikan pelajaran berharga pada semua mahluk. Pikiran, keinginan dan tindakan manusia harus selalu terkendali secara sadar. Seperti halnya para yogi yang menjaga disiplin yoga nya dalam keteraturan dan mengolah dirinya untuk memutus ikatan sebab akibat dan menghilangkan samsara dari dunia materiil ini.
Pandangan tentang karmaphala adalah sesuatu yang universal, walau dipahami dengan berbagai nama di dalam banyak kebudayaan dan ajaran tentang tingkah laku. Hampir semua hukum kehidupan di dunia ini menerapkannya walau tidak secara gamblang menyatakan hal tersebut adalah merupakan bentuk hukum karmaphala dalam nama yang berbeda. Contohnya hukuman pidana bagi pelaku kejahatan yang merupakan karmaphala langsung yang diterima dari sebuah perbuatan yang merugikan baik. Seperti halnya sebuah benih ditanam, buah mangga akan menjadi pohon mangga, padi akan menjadi beras, apel akan menjadi pohon apel, dan lain sebagainya.
Dalam Panaturan, ajaran karmaphala juga disampaikan melalui kisah Raja Bunu dalam Pasal 23: Raja Sangen, Raja Sangiang, dan Raja Bunu dianugrahi, dan Pasal 24: Raja Sangen, Raja Sangiang, dan Raja Bunu dianugrahi Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan. Dalam kedua pasal tersebut diceritakan perjalanan ketiga putra Manyamei Tunggul Garing dan Kameluh Putak Bulau yang sudah beranjak remaja. Ketiga putranya tersebut gemar bermain-main dipinggiran sungai. Hingga suatu ketika Ranying Hatalla menganugrahi mereka sepotong besi di sungai ketika mereka bertiga sedang asyik mandi di sana. Begitu melihat sepotong besi tersebut, mereka bertiga berebut untuk mengambilnya.
Entah bagaimana Raja Sangen dan Raja Sangiang mengambil besi di bagian yang timbul di permukaan air dan Raja Bunu mengambil bagian yang tenggelam di air, kemudian Ranying Hatalla bersabda:

Rimae, hila puntung sanaman ije lampang, ain Raja Sangen tuntang Raja Sangiang iete puna inatap awi Ranying Hatalla ewen ndue Jatha Balawang Bulau akan mahaga pambelum ije katatahie
(Panaturan, Pasal 23:23)

Artinya:
Maksudnya, bagian ujung besi yang timbul kepunyaan Raja Sangen dan Raja Sangiang sesungguhnya sudah ditetapkan oleh Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau bahwa mereka berdua memelihara kehidupan yang kekal abadi untuk selama-lamanya.

Raja Bunu tempun hila puntung sanaman ije leteng, iatuh awi Ranying Hatalla ewen ndue Jatha Balawang Bulau mahaga Lewu Injam Tingang, pantai danum kalunen kareh ije bagin matei.
(Panaturan, Pasal 23:24)

Artinya:
Raja Bunu mendapatkan bagian besi yang tenggelam, juga telah ditetapkan oleh Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau untuk memelihara kehidupan dunia, yang sifatnya hanya sementara.

Demikian Ranying Hatalla menetapkan segala sesuatunya dari karma yang diperbuat oleh ketiga putra Manyamei Tunggul Garing dan Kameluh Putak Bulau. Bahkan ketetapan Tuhan sekalipun tidak dapat tiba-tiba muncul tanpa sebuah sebab. Demikian keseimbanga  tercipta dari hukum yang tetap dan tak dapat terelakkan. Bukan suatu takdir yang bahkan tidak diketahui apa alasan dan mengapa dapat terjadi demikian.
Seperti halnya manusia dan alam semesta yang berevolusi secara perlahan dengan saling menyesuaikan antara semua hal di dalamnya. Manusia yang berevolusi dari masa kemasa, dimana kebudayaan pun berkembang dari pembelajaran dan pengalaman yang menjadi sebab sebuah tindakan. Dimana semua itu adalah ketetapan yang akan selalu terjadi dalam keseharian manusia yang dinamis.

Selain itu dalam Panaturan Pasal 24 diceritakan ketiga putra Manyamei Tunggul Garing yaitu Raja Sangen, Raja Sangiang, dan Raja Bunu pergi berburu ke dalam hutan disekitaran Lewu Batu Nindan Tarung Kereng Liang Bantilung Nyaring. Ayah dan Ibu mereka telah berpesan sebelumnya bahwa mereka bertiga sebaiknya hanya berburu di tempat tersebut dan dilarang memasuki Bukit Engkan Penyang. Namun, Raja Sangen mengajak kedua saudaranya untuk pergi ke Bukit Engkan Penyang karena di tempat mereka berburu mereka belum mendapatkan seekorpun binatang buruan. Atas bujukan Raja Sangen, kedua saudaranya pun terbujuk untuk pergi berburu dan melanggar larangan kedua orang tua mereka.
Sesampainya disana, mereka melihat Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan dan kemudian mengejarnya. Mereka saling berebutan dantarik menarik untuk memiliki binatang tersebut. Mendengar keributan tersebut maka datanglah ayah mereka Manyamei Tunggul Garing dan berkata; "wahai anakku bertiga janganlah berebutan Gajah Bakapek Bulau tersebut, kalian bertiga dapat bersama-sama memilikinya dan memeliharanya"
Namun perkataan ayah mereka tersebut tidak diperdulikan oleh ketiganya. Raja Sangen kemudian menikam Gajah Bakapek Bulau tersebut hingga darahnya menyembur keluar. Kemudian darahnya keluar dan menjelma menjadi berbagai macam harta kekayaan. Melihat hal tersebut Manyamei Tunggul Garing kemudian mengusap luka bekas tikaman Raja Sangen dan kemudian luka tersebut hilang tak berbekas.
Namun, Raja Sangiang kembali menikam Gajah Bakapek Bulau dan darahnya yang menyembur keluar kembali menjadi berbagai harta kekayaan. Tetapi, lagi -lagi Manyamei Tunggul garing mampu menghilangkan dan menyembuhkan kembali luka tersebut dengan usapannya. Hingga akhirnya tiba saatnya Raja Bunu menikam Gajah Bakapek bulau tersebut dan kemudian:

Sukup jadi daha Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan panjanjuri, ie uluh tingang apange Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, nekap marut awan tambekan Duhung Papan Benteng Raja Bunu kueh tau halit haluli.
(Panaturan Pasal 24:35)

Artinya:
Masih bercucuran darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan keluar maka ayahnya Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut kembali mengusap bekas tikaman Duhung Papan Benteng Raja Bunu namun tidak dapat kembali seperti semula.

Demikian kemudian darah yang mengalir menjadi semua harta kekayaan yang terkandung di dunia. Memenuhi sungai-sungai dan menjadi semua logam mulia. Menjadi juga kayu-kayuan sumber kehidupan umat manusia, menjadi obat-obatan penangkal segala macam penyakit.
Demikianlah semua hal tersebut terjadi pada asal mulanya.

Makna filosofis dari semua cerita Kitab suci Panaturan trrsebut adalah, hukum sebab akibat ada dalam keseharian manusia. Seperti halnya kelahirannya dalam dunia tidak kekal disebabkan karmaphala yang masih tersisa dan tidak habis diterima dalam kehidupan trrdahulu nya (prarabdha karmaphala), seperti halnya ketentuan Ranying Hatalla kepada Raja Bunu. Sehingga itulah yang disebut Tuhan Maha Adil dalam Hindu. Selain itu manusia diajarkan untuk selalu waspada dan bertanggungjawab terhadap semua tingkah laku nya. Semua hal yang ada di dunia ini bukan tanpa alasan muncul begitu saja. Seperti halnya sumber segala pengetahuan (Vid) yang suci yang tercipta dari karma dan karya para Sapta Rsi penerima wahyu, dimana semua adalah sebab dari perenungan kembali dan juga pembelajaran serta tapa brata yang kuat untuk menemukan semua hal baik yang dapat membantu kelangsungan hidup manusia. Sehingga manusia adalah sebab dari semua akibat yang ada. Jadi, berlakulah sadar dalam kesadaran karmaphala untuk keselarasan dan keseimbangan mikro dan makro kosmos.

Rabu, 22 Januari 2014

Nyangiang (Badewa) dalam Hindu Kaharingan

" Sangiang adalah zat suci Ranying Hatalla Langit, Dewa atau malaikat Tuhan yang bertugas membimbing manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan duniawi yang tidak kekal ini (Tim Penyusun, 2005:4)"

Demikian juga pelaksanaan Nyangiang dalam buku Maneser Panatau Tatu Hiang, Menyelami Kekayaan Leluhur karya Nila Riwut, dikatakan bahwa:

"Sangiang dalam kepercayaan Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju daerah Katingan dikenal sebagai salah satu saudara Raja Bunu (manusia pertama) yang mendiami Pantai Sangiang yang menjadi perantara komunikasi manusia dengan Ranying Hatalla Langit Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga proses komunikasinya dengan menggunakan media manusia terpilih yang dikenal dengan ba-sangiang. (Riwut, 2003:495-496)

Selain itu, Nyangiang disebut sebagai ritual masuknya roh-roh suci ke dalam perantara berupa orang terpilih sehingga dapat berkomunikasi dengan manusia. Dikatakan terpilih karena umat Hindu Kaharingan percaya bahwa tidak semua orang dapat menjadi media Nyangiang, hanya keturunan-keturunan tertentu yang dapat melakukannya. Adapun dalam prosesi Nyangiang tersebut orang yang dirasuki roh-roh suci tersebut menjadi tidak sadarkan diri karena tubuhnya dipergunakan sebagai media komunikasi oleh roh-roh suci yang dikenal dengan sebutan Sahur Parapah, Sangiang atau Patahu. Adapun media terpilih tersebut dikatakan memiliki jamban sangiang atau jalan sangiang sehingga ia dapat digunakan sebagai media Nyangiang (Rabiadi, wawancara 22 Maret 2013)

Adapun yang melatarbelakangi pelaksanaan ritual Nyangiang dalam kehidupan umat Hindu Kaharingan adalah keyakinan bahwa Raja Bunu dan keturunannya adalah manusia yang tidak kekal dan akan mendiami kehidupan sementara di Pantai Danum Kalunen atau dunia ini. Namun, disampaikan Ranying Hatalla dalam Panaturan pasal 29 ayat 5:

"Tinai kuan Ranying Hatalla, ela bitim ngupang basule huang nahingan pahariwut rawei-Ku, tarantang aim dia memen bewei, aluh ewen te puna bagin matei, te kareh tege panarantang tambun paharim ije dia tau matei, ije akan haduanan ewen te kareh buli AKU"

Artinya:
Ranying Hatalla kembali menyebutkan; engkau jangan merasa khawatir dengan petunjuk dari-Ku, walaupun keturunanmu menjadi bagian yang mati, mereka itu akan dibantu oleh keturunan kedua saudaramu mengembalikannya menyatu kepada-KU.

Dalam keyakinan Kaharingan, manusia adalah anak keturunan dari Raja Bunu. Pada mulanya Raja Bunu memilki dua orang saudara, yaitu Raja Sangen dan Raja Sangiang. Dengan kehendak dan kekuasaan Ranying Hatalla Langit maka dikehendaki bahwa Raja Bunu kelak yang akan mendiami dunia atau Pantai Danum Kalunen yang tidak kekal ini.

"Raja Bunu tempun hila sanaman ije leteng, ietuh awi Ranying Hatalla ewen ndue Jatha Balawang Bulau mahaga Lewu Injam Tingang, Pantai Danum Kalunen kareh ije bagia matei"
(Panaturan, 23:23)

Artinya:
Raja Bunu mendapatkan bagian besi yang tenggelam, juga telah ditetapkan oleh Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau untuk memelihara kehidupan Dunia yang sifatnya hanya sementara.

Namun, kedua saudara Raja Bunu tersebut pula dikehendaki Ranying Hatalla agar selalu membantu saudaranya di Pantai Danum Kalunen tersebut. Sehingga dalam segala macam upacara Hindu Kaharingan termasuk ritual Nyangiang selalu ada mantra dan juga prosesi penyampaian doa kepada para Sangiang agar dapat membantu kelancaran ritual tersebut agar dapat berjalan dengan baik.
Walau terkadang, kesalahpahaman yang diakibatkan ketidaktahuan oknum-oknum tertentu menyebabkan kesalahan makna pada masyarakat tentang pengertian sesungguhnya ritual tersebut. Terkadang dikatakan bahwa umat Hindu Kaharingan memuja setan atau mahluk-mahluk halus.

Sesungguhnya, Hindu Kaharingan meyakini bahwa dalam kehidupan harus saling menghormati kepada semua mahluk. Karena, roh-roh suci pula yang menghubungkan manusia dengan Tuhan YME, ibarat dalam pemerintahan diperlukan prosedur dari jajaran paling bawah untuk menyampaikan aspirasi maupun keinginan hingga ke tingkat paling atas.
Karena, semua hal didunia ini hingga yang kasat mata itu ada bukan untuk direndahkan atau dibenci. Semua ada untuk sebuah alasan. Seperti halnya puzzle-puzzle yang saling melengkapi satu sama lain untuk menjadi utuh. Seperti disampaikan Ranying Hatalla bahwa sesunggunya semuanya harus saling mengasihi dalam persaudaraan. Dimana semua ada bukan tanpa alasan seperti Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu yang saling membantu. Tidak ada yang lebih unggul diantara lainnya. Karena keharmonisan dan keselarasan berarti semua ada dalam harmoni dalam keseimbangan.

Sumber:
Skripsi oleh: Kunti Ayu Vedanti
Upacara Nyangiang Bayar Hajat pada Umat Hindu Kaharingan di Kelurahan Tangkiling Kecamatan Bukit Batu Kota Palangka Raya, STAHN-TP :2013.

Senin, 20 Januari 2014

Keberagaman Manusia disitulah Keharmonisan dan Kemuliaannya, Panaturan Pasal 39

Ie Ranying Hatalla palus mukei kahain kuasae, nampaurai japa jimat tantenge, hayak auh nyahu batengkung ngaruntung langit, malentar kilat basiring hawun, Ie manmpa kakare kutak pander ewen sama hakabeken tuntang palus mubah ngabeken kea tiruk tuga itung-pitungae.
(Panaturan, 39:8)
Artinya :
Ranying Hatalla pun menjadikan kehendakNYA dengan segala kekuasaan ciptaanNYA bersama suara nyahu batengkung ngaruntung Langit, IA menjadikan bermacam-macam bahasa bagi mereka semua sekaligus membagi-bagi cara berfikir mereka.

Keberagaman dalam Kaharingan telah dipahami sejak dahulu kala. Para leluhur kita telah dapat menyadari keberagaman tersebut dengan bijaksana. Seperti yang Panaturan sampaikan. Keberagaman tersebut dikehendaki Ranying Hatalla sebagai sesuatu yang alamiah. Dimana semua hal tersebut IA hadirkan sebagai sarana penyelarasan kehidupan manusia.

Pengelempokan bukanlah hal yang membedakan dan memisahkan secara ekstrim. Namun, sebagai penyeimbang keberadaan manusia yang satu dengan lainnya. Seperti juga disampaikan dalam ayat 11:

Sana kakaren pander saritan ewen te hakabeken dia tau hakarasuk, ewen sama buli ekae, palus mananjung manggau petak mampar buang, sungei saka, tasik lumbah, bukit panjang, eka ewen mangkalewu mambelum arepe gagenep bitie.
Artinya:
Sejak bahasa mereka berbeda-beda dan tidak dapat sesuai lagi, mereka pun masing-masing pulang ke tempatnya, langsung melakukan perjalanannya untuk mencari tempat tinggalnya yang baru, di pinggir sungai-sungai, lautan yang luas, bukit tinggi, mereka membangun kampung halamannya, menjalani kehidupannya sendiri-sendiri.

Dalam ayat tersebut kembali diperjelas bahwa keberagaman tersebut pada awalnya memisahkan mereka satu sama lainnya. Mengelompokkan mereka dan menjauhkan satu sama lain. Namun, dalam perbedaan tersebut kemudian tersebarlah mereka ke berbagai pelosok dunia. Menempati tempatnya masing masing dan menjalani kehidupannya masing-masing. Menjalani tata cara yang mereka sesuaikan dengan keadaan alam dan kebiasaan yang berkembang dalam kelompoknya. Menemukan ilmu pengetahuannya masing-masing dari pengalamannya.
Hingga kemudian dari sanalah tiap manusia belajar dari keberagaman tersebut sebagai suatu kekayaan yang utuh tentang pengetahuan dunia.
Dari sanalah kemudian tumbuh toleransi dan kepedulian yang universal terhadap manusia lainnya tanpa memandang perbedaan yang ada. Karena dengan perbedaan tersebut manusia dapat belajar dan menjadi semakin dewasa.
Kemudian muncul keberagaman yang mengharmoniskan, memberikan kekaguman satu sama lain terhadap keunikan perbedaan yang mereka miliki. Asalkan masih ada satu kesadaran utama bahwa; walau sebesar apapun perbedaan yang kita miliki, kita masih sama-sama manusia yang berlindung di bawah langit yang sama dan meminta kehidupan pada satu satunya matahari di sistem tata surya ini. Sesama manusia adalah persaudaraan abadi yang bahkan tidak dapat diingkari mahluk manapun seberapapun berbedanya kita secara fisik.

"Hal yang selalu stabil dan tidak beragam tidak akan membuat manusia tumbuh menjadi lebih baik, kedewasaan didapat dari banyak hal berbeda yang ia alami dan kesadaran ia dapat dari banyak hal yang ia lihat diluar lingkarannya, karena bagai seekor katak dalam tempurung yang bahkan tidak mengetahui bahwa ia bukanlah satu satunya katak yang ada di dunia ini. Hingga ia menjadikan dirinya sebagai tolak ukur kesempurnaan yang ia tahu dalam pengetahuannya yang terbatas"

Sumber : Panaturan, MBA-HK 2003

Pandangan Hindu Kaharingan Tentang Perkawinan dan Keturunan Serupa Ranying Hatalla (Kitab Suci Panaturan Pasal 19)

Manusia adalah mahluk yang memiliki keistimewaan tersendiri. Kemampuannya untuk berpikir, menggunakan indria dan semua daya nya bahkan untuk merubah dunia sesuai apa yang ia kehendaki. Demikianlah keistimewaannya yang dapat menjadi terang dunia atau bahkan sebaliknya.
Seperti yang kita ketahui, dalam ajaran Hindu terdapat 4 (empat) tahapan kehidupan manusia, yang disebut catur asrama. Dalam catur asrama diberikan penjelasan tentang beberapa fase kehidupan manusia.
Fase tersebut adalah fase brahmacari (menuntut ilmu), fase grhasta (berumah tangga), fase wanaprastha (melepas keduniawian), dan yang terakhir fase bhiksuka (melepas keduniawian total/tidak menikah). Dalam catur asrama manusia diberi pandangan tentang bagaimana ia seharusnya menjalankan kehidupannya. Dari masa kanak-kanak hingga ia beranjak dewasa dan menjadi manusia yang bijak. Di masa kanak-kanak dijelaskan bagaimana seharusnya ia berperilaku dan apa yang menjadi swadharmanya. Seorang anak seharusnya memanfaatkan waktunya untuk menuntut ilmu dan membekali dirinya dengan berbagai keterampilan sampai ia siap menuju ke jenjang pernikahan saat ia telah cukup dewasa dan layak untuk itu.
Manusia ataupun seorang anak dilahirkan dari bersatunya seorang laki-laki dan perempuan dalam sebuah pernikahan. Hal tersebutlah yang lazim kita ketahui dalam keseharian kita. Namun, realita yang terjadi di masyarakat saat ini tidaklah seperti yang kita yakini. Banyak terjadi perbuatan amoral yang menyebabkan kelahiran seorang anak manusia di luar pernikahan. Bahkan hal tersebut sudah seperti hal yang biasa terjadi dalam dunia modern ini.

Lalu apa menurut Panaturan?

Panaturan Pasal 19 menyampaikan bahwa:
Kilen kea amun jadi kinjap tutu panjanjuri dahan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan, Limut Batu kamasan Tambun palus hindai atun mandinun garing tarantange, sihung lalundung.
Artinya :
Melihat beberapa kejadian yang telah berlalu, sering Kameluh Putak Bulau Janjulan Karangan, Limut Batu Kamasan Tambun keguguran (panjanjuri darahnya), namun masih belum juga mendapat anak keturunannya.

Dalam kitab suci Panaturan diceritakan bahwa Kameluh Putak Bulau dan Manyamei Tunggul Garing telah tinggal bersama namun dari hubungannya tersebut belum juga dikaruniai keturunan. Beberapa kali ia mengandung namun selalu saja mengalami keguguran.
Hingga Ranying Hatalla Langit pun menghendaki agar mereka berdua melaksanakan pernikahan agar mendapatkan keturunan.

Ewen ndue tuh puna ilalus gawin lunuk hakaja pating, barigen hatamue bumbung, awi ewen sintung ndue dapit jeha ije manak manarantang hatamunan AKU huang pambelum Pantai Danum Kalunen ije puna ingahandak awi-KU tuntang talatah panggawie, manjadi suntu akan pambelum Pantai Danum Kalunen.
(Panaturan, Pasal 19 ayat 3)

Artinya:
Sesungguhnya mereka berdua ini adalah wujud-KU sendiri, AKU akan melaksanakan Upacara Perkawinannya agar mereka dapat memberikan keturunan serupa AKU, bagi kehidupan dunia yang AKU kehendaki, dan ini pula yang akan mereka lakukan pada kehidupan dunia nantinya.

Apa yang dimaksud keturunan serupa IA?

Tuhan YME atau Ranying Hatalla Langit merupakan IA yang Maha Segalanya. memiliki semua sifat sifat luhur atau dikenal dengan sifat kedewataan. Tidak dikuasai oleh hal-hal negatif dan tentunya selalu dalam dharma.
Maka demikianlah seharusnya manusia yang sejati, memiliki kesadaran serupa IA yang ada di dalam semua mahluk dan menyadari keutamaannya sebagai seorang manusia.

Mengapa harus melalui perkawinan baru didapat keturunan serupa IA?

Perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan suci yang dilalui manusia. Dari sebuah perkawinan tentu diharapkan keturunan yang mulia dan juga dapat meneruskan kelangsungan hidup manusia. Sesungguhnya pernyataan dalam kitab suci Panaturan tersebut dapat kita pahami dan temui dalam kehidupan kita saat ini.
Tentu sudah tidak jarang didapati pasangan kumpul kebo yang telah tinggal bersama layaknya suami istri. Bahkan tidak jarang dari hubungan tersebut lahir anak-anak diluar pernikahan. Dari hal tersebut sudah tentu sangatlah sulit mendapatkan keturunan serupa Ranying Hatalla Langit.
mengapa?
Karena anak tersebut tumbuh dengan tidak layak. Dimaksud tidak layak karena ia tidak mendapatkan hak-haknya, baik perlindungannya secara hukum, bahkan terkadang haknya untuk berkehidupan layak dan kehidupan sosial yang sehat. Dengan status anak di luar pernikahan tentu ia tidak dapat berinteraksi dengan baik selayaknya anak pada umumnya. Bahkan juga tidak mampu mengenyam pendidikan dikarenakan ketidaksiapan finansial dari kedua orang tuanya.
Sehingga sudah tentu akan sangat sulit membentuk karakter dan keseimbangan baik secara mental maupun fisikis sang anak.

Hal tersebutlah yang sesungguhnya dianggap sebagai keturunan serupa AKU oleh Ranying Hatalla Langit. Kematangan dan kedewasaan kedua manusia untuk menuju jenjang pernikahan bukan sesuatu yang main-main karena dari sanalah wujud tanggungjawab terbesarnya bagi dunia dan Tuhan YME. Disanalah ia memulai misi besarnya dalam kehidupan. Mempersiapkan dengan matang masa depan dan kehidupan keluarganya.

"Maka dengan itu Ranying Hatalla Langit telah bersabda dalam Panaturan, bahwa sesungguhnya manusia adalah serupa IA. Memiliki kekuasaan dalam kedua tangannya serupa NYA. Manusia dapat memilih untuk memelihara atau menghancurkan"

Sumber: Panaturan, MBA-HK 2003