Minggu, 27 November 2011

Bulu Burung Tingang (Tingang Rangga Bapantung Nyahu), Tiga Warna Filosofi Kehidupan Hindu Kaharingan


Dalam Teologi Agama Hindu, manusia dikatakan  adalah miniatur alam semesta dengan unsur alam yang ada di dalamnya seperti air, tanah, udara, api, dan ether. Sehingga, manusia dan alam semesta adalah satu kesatuan yang saling ketergantungan satu sama lain.

Agama Hindu Kaharingan yakin bahwa ada dua ruang lingkup alam kehidupan, yaitu kehidupan alam  nyata dan kehidupan alam  maya. Menurut Hindu Kaharingan, yang berada di alam kehidupan nyata ialah  makhluk tak hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan yang berada di alam kehidupan maya adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang dan sudah masuk  ke ranah  metafisika yang tidak dapat dijangkau oleh indria dan tidak dapat diterima secara logika (akal sehat).

Kedua alam  kehidupan ini dapat  saling  mempengaruhi satu dengan  yang  lainnya. Sehingga, hal tersebut menjadi latar belakang utama keyakinan umat Hindu Kaharingan terhadap adanya kehidupan dan kekuatan supranatural yang sangat dekat dengan kehidupannya. Keyakinan tersebut juga menjadi alasan utama munculnya tiga kerangka dalam setiap kehidupan religiusnya, yaitu upacara (acara keagamaan/ritual keagamaan), upakara (sarana dan prasarana dalam sebuah ritual keagamaan), dan tattwa/filsafat (makna dari simbol-simbol dan setiap ritual keagamaan) yang menjadi benang merah utama Hindu dan kaharingan.

Salah satunya, upakara dalam persembahyangan umat Hindu Kaharingan  yaitu “Bulu Burung Tingang” yang biasanya digunakan sebagai sarana utama yang ada di Sangku Tambak Raja. Bulu indah dengan tiga warna yang selalu teratur, yaitu; putih, hitam, dan putih. Bukan tanpa alasan leluhur suku Dayak menggunakan bulu burung Tingang sebagai sarana utama persembahyangan (Basarah). Selain aspek religi dan magis yang terdapat dalam setiap upakara umat Hindu  Kaharingan, daya intelektual mereka yang tinggi telah mampu memberikan petuah yang sangat berharga di dalam sebuah bulu burung Tingang.

Dalam bahasa Sangiang, bulu burung Tingang disebut Dandang Tingang, yang merupakan percikan dari Danum Nyalung Kaharingan Belum (Air Suci Kehidupan) yang diberikan Ranying Hatalla kepada Raja Bunu untuk memberikan kehidupan kepada calon istrinya Kameluh Tanteluh Petak. Air Suci Kehidupan itu ditempatkan di Luhing Patung Tingang (destar/ikat kepala) milik Raja Bunu yang terlempar ke atas. Seperti tertulis dalam Panaturan:


“Ie Raja Bunu palus malusut Luhing Patung Tingange, hapa nantalai Nyalung Kaharingan Belum, Guhung Panaling Aseng bara Ranying Hatalla”

(Panaturan, Pasal 27: Ayat 19)

Artinya:
Saat itu juga Raja Bunu langsung melepaskan Luhing Patung Tingang-nya (destar/ikat kepala) untuk tempatnya menerima atau menyimpan Air Suci Kehidupan dari Ranying Hatalla.

Setelah itu destar tersebut berubah menjadi burung Tingang atau dalam bahasa Sangiang disebut Tingang Rangga Bapantung Nyahu. Kemudian Ranying Hatalla menganugrahi burung Tingang sehingga dapat dijadikan perantara permohonan dan ucapan syukur kepada Ranying Hatalla. Makna filosofis dari tiga warna dalam bulu burung Tingang adalah:
1)                  Warna putih bagian atas, berarti alam kekuasaan Ranying Hatalla Langit ( Tuhan Yang Maha Esa) Ia  yang Maha Suci atau dalam keyakinan Hindu Kaharingan  disebut Lewu Tatau.
2)                  Warna hitam ditengah, berarti alam kehidupan manusia didunia ini yang penuh dengan pertentangan, perselisihan, baik antara kebenaran dengan ketidakbenaran.
3)                  Warna putih dibagian bawah berarti kesucian yang dapat dicapai melalui usaha individu melawan ketidakbenaran (adharma) yang pada saatnya, bila dihubungkan dengan upacara keagamaan Hindu Kaharingan yaitu sampai pada upacara Tiwah/Wara.
Sehingga, suku Dayak Hindu Kaharingan memahami bahwa manusia berasal dari Ranying Hatalla yang kemudian turun ke dunia untuk belajar tentang banyak hal yang tidak jarang dapat membuatnya terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Namun, tidak ada kesempurnaan dalam kehidupan di dunia ini, karena dunia adalah lautan penderitaan (samsara) atau Lewu Injam Tingang, kehidupan sementara yang terus bergulir. Sehingga, dosa dan kebaikan adalah Rwa Bhineda, hitam putih kehidupan yang selalu ada.

Manusialah yang kemudian dapat mengembalikan kesucian dan kemurniannya, kembali ke hakikatnya sebagai percikan Ranying Hatalla, yang mengalir di dalamnya Danum Nyalung Kaharingan Belum (Air Suci Kehidupan) dan Hintan Kaharingan (Cahaya Suci-NYA) untuk kembali menyatu dengan Ranying Hatalla Langit Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Raja Tuntung Matan Andau, Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan di Lewu Tatau yang kekal abadi.

Raja Bunu Manusia Pertama Persfektif Hindu Kaharingan (Asal-Usul Suku Dayak)


Propinsi Kalimantan Tengah secara astronomi berada pada posisi 0045’ Lintang Utara (LU-3031’ Lintang Selatan (LS) dan antara 1100-1160 Bujur Timur (BT). Secara geogafis berbatasan dengan propinsi Kalimantan Timur di sebelah timur. Luas wilayah Kalimantan Tengah secara keseluruhan sekitar 153.546 km2 atau lebih kurang 7,95% dari keseluruhan luas Indonesia, terdiri dari hutan belantara seluas 126.200km2, rawa-rawa 18.115 km2, sungai, danau, dan genangan air lainnya seluas 4.563 km2 serta pertanahan lainnya seluas 4.686 km2.
Dalam bahasa setempat, Kalimantan berarti pulau yang memiliki sungai-sungai besar (kali ‘sungai’; mantan ‘besar’). Pulau Kalimantan dikenal juga dengan nama Brunai, Borneo, Tanjung Negara (pada masa Hindu), dan dengan nama setempat Pulau Bagawan Bawi Lewu Telo. 
Menurut tetek tatum, nama Pulau Goyang  atau Bagawan Bawi Lewu Telo  dalam bahasa Dayak Sangiang (Dayak Kuna) artinya: Goyang ‘suci’ dan Bagawan Bawi Telo ‘Negeri tempat tiga putri’.  

Tanjung Negara adalah nama yang tercantum dalam Atlas Nederland Indie tahun 1938. Nama ini digunakan pada abad ke-13 semasa Kerajaan Hindu. Tanjung Negara maksudnya ‘pulau’ atau ‘negara’ yang banyak memiliki tanjung (laut). Sedangkan Kalimantan adalah nama yang lahir semasa Kerajaan Islam abad ke-16, pada masa Pangeran Samudra (Pangeran Suriansyah) alias Mahurum memegang tampuk pemerintahan di Banjarmasin. Ada dua macam pengertian mengenai nama Kalimantan ini: (1) Kali ‘sungai’ mantan ‘besar’; Kalimantan artinya pulau yang memiliki sungai yang besar-besar. (2) Kalimantan artinya nama semacam pohon buah asam yang banyak terdapat di Kalimantan. Kata mantan, juga terdapat dalam bahasa Dayak Sangiang yang berarti ‘besar’.
 
Sebutan kata Dayak adalah sebutan yang umum di Kalimantan. O.K. Rachmat dan R.Sunardi mengatakan bahwa kata Dayak adalah satu perkataan untuk menyatakan stam-stam yang tidak beragama Islam dan mendiami pedalaman Kalimantan, dan istilah ini diberikan oleh orang Melayu di pesisir Kalimantan yang berarti orang gunung.

Keyakinan asli suku Dayak Kalimantan tengah adalah Agama Helu yang kemudian dikenal dengan sebutan Kaharingan atau Hindu Kaharingan setelah integrasi dengan Agama Hindu pada Tahun 1980.
Agama Kaharingan merupakan kepercayaan asli suku Dayak yang berasal dari kata haring artinya hidup. Menurut kepercayaan pemeluk agama Kaharingan, Kaharingan tidak dimulai sejak zaman tertentu namun sejak awal penciptaan, sejak Tuhan yang disebut Ranying Hatalla menciptakan manusia. Ranying berarti Maha Tunggal, Maha Agung, Maha Mulia, Maha Jujur, Maha Lurus, Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Suci, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Adil, Maha Kekal dan Maha Pendengar. Hatalla berarti Maha Pencipta.
 
Hindu Kaharingan adalah kepercayaan tertua di Kalimantan Tengah. Agama Hindu Kaharingan ini sudah menyatu erat dengan kebudayaan dan tata cara kehidupan suku Dayak, baik dari bahasa, tata kehidupan, dan ajaran-ajaran yang termasuk filosofi hidup suku Dayak. Hal tersebut yang menyebabkan suku Dayak dan Hindu Kaharingan menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan seperti raga dan roh (jiwa). 
Hindu Kaharingan menyebutkan bahwa leluhur suku Dayak adalah Raja Bunu sebagai manusia yang diturunkan oleh Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) ke Pantai Danum Kalunen (Dunia). Hal tersebut tertulis dalam Kitab Suci Panaturan (sumber susastra Agama Hindu Kaharingan) yang menggunakan Bahasa Sangiang yang merupakan bahasa tertua yang kemudian menjadi induk dari beragam bahasa daerah yang ada di Kalimantan Tengah, sebagai berikut: 
"Limbah uras jadi batatap, te Ranying Hatalla malaluhan Raja Bunu ewen hanak hajarian tuntang kare raja-raja ije mandengan ewen mahapan Palangka Bulau Lambayung Nyahu, balua Tumbang Lawang Langit, nanturung Bukit Samatuan hila Pantai Danum Kalunen, hayak te kea ewen nunjung tukii tingang, mangkat lahap rawing hangka uju lulang luli, naharep kabaluman matan andau belum".
(Panaturan, Pasal 37; Ayat 15)
Artinya: 
Setelah semuanya sudah siap, maka Ranying Hatalla mulai menurunkan Raja Bunu sekeluarga dan beberapa Raja-Raja yang mendampingi mereka, memakai Palangka Bulau Lambayung Nyahu keluar dari Tumbang Lawang Langit, menuju puncak Bukit Samatuan di Pantai Danum Kalunen (Dunia), bersama itu pula mereka mengangkat tukii tingang (pekikan pujian kepada Ranying Hatalla) serta malahap tujuh kali menghadap matahari terbit.

Demikianlah, dijelaskan melalui Panaturan, suku Dayak adalah anak keturunan Raja Bunu yang mendiami dunia dan mendapatkan ajaran tata cara kehidupan dari Ranying Hatalla Langit Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Raja Tuntung Matan Andau, Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan. Sebagai Agama Helu, agama tertua suku Dayak Kalimantan Tengah, Agama Hindu Kaharingan adalah agama yang diteruskan secara turun-menurun sebagai ajaran lisan. seiring perkembangan waktu, Panaturan sebagai kitab suci Agama Hindu Kaharingan disusun demi mempermudah umat Hindu Kaharingan mendapatkan sumber dan acuan tertulis. 

sumber : 
Panaturan, 2003. Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Kalimantan Tengah. 
Maneser Panatau Tatu Hiang, Menyelami Kekayaan Leluhur, Dra. Nila Riwut.
Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan, Tjilik Riwut.