Jumat, 14 Oktober 2016

Refleksi Polemik Adat Dayak dan Ritual Hindu Kaharingan

Jemari kaki masih enggan menginjak lantai, suara burung-burung menandakan hari yang cerah penuh gairah akan dimulai. Di sabtu pagi yang cerah, secangkir teh hangat dan wadai gabin susu cukup jadi teman asyik membuka timeline di sosial media.

Cukup mengejutkan, pagi saya disapa cuitan dan unggahan hangat. Ternyata sesuatu telah terjadi di luar sana disaat saya sedang terlelap. Orang-orang dayak tengah berdiskusi hangat cenderung memanas. Topiknya minggu ini adalah “adat dan ritual” yang seolah diperebutkan. Melihat ini, saya tidak tahan untuk senam jari juga dan menuangkan isi kepala saya.

Dayak, sebagai sebuah suku adalah suku asli Kalimantan. Dayak terbagi menjadi beberapa suku besar dan sub suku. Selayaknya beragam pulau di Indonesia, Kalimantan memiliki beragam budaya dan agama di dalamnya. Berdasarkan pengamatan, pulau Kalimantan masa kini tidak hanya dihuni oleh suku Dayak. Kemajuan zaman, teknologi, hingga globalisasi memungkinkan beragam suku “pindah rumah” ke Kalimantan. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri juga bahwa beragam agama ada di pulau “orang Dayak” masa kini. Perkembangan zaman juga menyebabkan beragam agama dianut oleh orang-orang Dayak. Walau, bukti sejarah dari beragam literatur menyatakan bahwa Dayak memiliki agama tua yang disebut agama helo yang di Kalimantan Tengah telah menjadi Kaharingan, yaitu sebuah nama yang merujuk pada agama asli suku Dayak yang digagas dan diprakarsai  oleh Damang Batu pada Rapat Besar Tumbang Anoi tahun 1894. Kemudian melalui perjuangan panjang SKDI (Serikat Dayak Kaharingan Indonesia) pada tahun 1950 dengan usaha menjadikan Kaharingan sebagai agama yang sah. Sayangnya perjalanan tersebut terkendala oleh beragam hal, hingga pilihan jatuh pada integrasi Kaharingan ke dalam Hindu di tahun 1980.
Integrasi berarti pembauran hingga menjadi kesatuan utuh yang bulat.
Tujuan integrasi adalah bergabung dan bersatu saling menguatkan. Lalu, mengapa Hindu?
Memang jika dilihat, itu adalah pilihan aneh. Karena Hindu adalah agama impor dari India. Hindu identik dengan orang-orang India. Nampaknya perlu membuka sedikit apa itu agama Hindu.

Agama Hindu adalah agama yang bermulai di India. Awalnya, Hindu bukanlah sebuah agama. Sebutan Hindu pada awalnya merupakan sebutan yang merujuk pada orang-orang yang mendiami sekitar sungai Sindhu dan memiliki tradisi dan keyakinan khas berbeda dari keyakinan orang eropa, dan juga muslim. Kemudian disebutlah Hindu karena orang eropa sulit menyebut Sindhu dengan tepat.

Terkait dengan integrasi, maka kita coba kritisi apa itu Hindu, bagaimana wujudnya dan seperti apa inti ajarannya.

Hindu adalah sebuah agama yang memiliki paham bahwa Tuhan adalah sesuatu yang abstrak. Para penganut memiliki hak untuk menggambarkan dan menghayati Tuhan dengan sebutan mereka masing-masing kepadanya. Karena, Tuhan adalah satu tetapi orang bijaksana menyebutknya dengan banyak nama “ekam sat viprah bahudha vadanti”. Kemudian terkait praktik beragama, Hindu memiliki konsep dasar yaitu desa, kala , dan patra. Hindu sepakat bahwa setiap praktik beragama akan muncul beragam sesuai dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (kondisi). Sehingga, perbedaan wujud atau tradisi beragam di dalam Hindu adalah wajar. Tidak perlu adanya sinkretisasi berlebih terhadap perbedaan. Karena, dasar yang utama dalah filsafat agama itu sendiri.

Alasan demikian yang menjadi keyakinann para tokoh Kaharingan masa lampau mengambil sikap untuk berintegrasi dengan Hindu dan menjadi Hindu Kaharingan. Memang pilihan tersebut tentu memiliki dampak. Kecurigaan beragam pihak muncul seiring berjalannya waktu, namun dibuktikan secara nyata dengan lestarinya ajaran agama helo yang utuh tanpa modifikasi dan sinkretisasi ajaran Hindu umum. Walau modifikasi terjadi, hanya terkait hal-hal non sakral. Misalnya, penggunaan teknologi sebagai penunjang kelancaran kegiatan ritual beragama.

Ternyata, fakta tersebut belum memuaskan kaum pecinta budaya Dayak. Kini muncul polemik yang dapat diamati nyata di dalam dunia maya. Saya tertegun, karena menurut penulis secara pribadi ada propaganda di dalamnya. Isu yang mencuat bukan tidak mungkin didasari kepentingan-kepentingan pihak yang ingin mengambil keuntungan terhadap ini. Sungguh berbahaya, jika tidak disikapi dengan bijak oleh semua orang Dayak dari berbagai latar belakang agama dan usia. Karena, konsep rumah betang, penyang hinje simpei paturung humba tamburak akan runtuh dengan sukses karena sikap tidak bijaksana terhadap ini.

Kini, saya menuangkan ide pemikiran dan isi kepala saya berlandaskan alasan ilmiah berikut. Menurut Maran (2000) kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia di dunia. Pada kebudayaan, manusia menempatkan jejak-jejaknya dalam panggung sejarah. Kebudayaan adalah cara manusia untuk hidup yang khas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam, dan merupakan strategi manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Secara etimologis kata kebudayaan berarti hal-hal yang berkaitan dengan akal yang berupa cipta, rasa dan karsa. Menurut Tylor (dalam Maran, 2000), adat termasuk di dalam kebudayaan yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah aturan berupa perbuatan yang lazim dilakukan sejak dahulu, cara yang sudah menjadi kebiasaan, atau wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan yang lain berkaitan menjadi satu sistem.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebhaktian, persembahyangan dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan. Kata agama diterjemahkan dari kata Inggris religion yang berasal dari bahasa latin religio. Kata ini terdiri dari dua patah kata, yakni re dan ligare. re berarti kembali dan ligare berarti mengikat. Jadi kata religio berarti ikatan atau pengikatan diri. Maksudnya, kehidupan beragama itu mempunyai tata aturan serta kewajiban yang harus ditaati oleh para pemeluknya. Tata aturan serta kewajiban termaksud diyakini sebagai sesuatu yang sesuai dengan kehendak yang Ilahi (Maran, 2000). Keyakinan akan Tuhan tersebut berangkat dari keterbatasan manusia yang membuatnya meyakini kekuatan di luar dirinya (Suhardana, 2009).
Berdasarkan definisi diatas, dapat dipahami bahwa antara adat dan agama adalah dua hal yang berbeda walaupun menjadi satu kesatuan di dalam kebudayaan. Baik adat maupun agama adalah pembentuk kebudayaan secara keseluruhan. Namun, dalam beragama atau agama terdapat komponen yang khas yang membedakannya dengan adat. Kehidupan beragama dibentuk dengan komponen religi, yang menurut Koentjaraningrat (dalam Agus, 2006) adalah emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus dan upacara, peralatan ritus dan upacara, dan umat beragama. Keseluruhannya itulah yang membentuk kehidupan beragama.

Definisi dan pemahaman diatas dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan menyikapi polemik ini. Sehingga, umat Hindu Kaharingan tidak seharusnya bersikap arogan dan angkuh serta merta tidak memberi hak kepada orang Dayak non Hindu Kaharingan untuk mencintai dan melaksanakan “adat”nya. Adat yang dimaksud tentunya bukan adat yang mencampuri ranah ritual yang sakral. Karena jika itu terjadi maka sudah jelas itu adalah pelecehan dan penistaan bagian dari agama yang adalah sesuatu yang sakral.

Karena, semua orang Dayak memiliki hak untuk menjadi Dayak yang mencintai warisan nenek moyangnya. Demikian juga bagi semua orang Dayak non Hindu Kaharingan, seharusnya mampu menempatkan diri dengan bijaksana, tidak melakukan tindakan tidak terpuji dengan interpretasi sepihak dan subjektif terhadap ajaran agama orang lain. Karena, agama adalah hal prinsipil dan sakral. Setiap pemeluk agama memiliki dasar beragama, sebagai ekspresi kecintaan terhadap Tuhan. Bahkan, penistaan dan gangguan terhadap hak tersebut jelas tidak diperbolehkan di dalam NKRI yang ber asas “Ketuhanan Yang Maha Esa Ini”, dengan UUD 1945 nya tentang hak memeluk agama.

Kesimpulan yang wajib menjadi bahan refleksi di sabtu cantik hari ini adalah. Apakah hakikat dan tujuan dari agama? Bukankah kita semua dengan latar belakang agama yang berbeda diajarkan untuk membangun dunia yang harmonis? Bukankah agama adalah sebagai pedoman hidup yang memberi nilai dalam kehidupan setiap penganutnya?

Jika setuju, mari kita bungkam opini opini menyimpang dan menyakiti yang muncul dari agama kita, kita tegur umat kita yang tidak bijaksana. Karena, kita hidup bersama di dalam bumi borneo, bumi penuh misteri dan kaya, kita adalah orang Dayak yang bermartabat dan bijaksana. Jika cinta ke-Dayak an mu, maka usahakan lah konsep Huma betang, atau Huma Hai dan penyang hinje simpei paturung humba tamburak. Jangan biarkan orang luar tertawa dan mengambil keuntungan atas perpecahan di dalam kita.
Yang setuju silahkan bagikan tulisan saya di hari ini, mari kita cinta mencintai, sudahi perdebatan tidak konstruktif ini.

Salam cinta dari saya, penulis blog Hintan Kaharingan di pagi sabtu cantik ditemani secangkir teh manis dan wadai gabin susu, Tabe.

Minggu, 13 September 2015

Motivasi Entrepreneurship dari Raja Bunu



Sejak awal keberadaannya, secara alamiah manusia berusaha mempertahankan kelangsungan hidupnya. Mulanya, usaha tersebut hanyalah pemenuhan kebutuhan akan makanan. Manusia primitif melakukannya dengan cara berburu, kemudian bercocok tanam, hingga barter.  Namun, masa kini kebutuhan manusia tentu lebih variatif mencakup kebutuhan primer, sekunder hingga tersier.  Disampaikan pula dalam kitab Panaturan Pasal 22, bahwa Raja Bunu sebagai manusia pertama di muka bumi ini tidak dapat tumbuh sehat hanya dengan memakan pantar pinang/buah pinang seperti kedua saudaranya, Raja Sangen dan Raja Sangiang. Kemudian Ranying Hatalla/Tuhan menciptakan beras sebagai makanannya. Simbolisasi beras tersebut bermakna hakikat manusia sebagai mahluk material yang perlu dipelihara dengan cara memenuhi kebutuhan hidupnya dan bertanggungjawab mengusahakannya dengan berbagai cara. Karena, tubuh ini adalah media penting untuk manusia berbuat/berkarma bahkan untuk mendekatkan diri dengan Ranying Hatalla.
Aktivitas ekonomi kemudian muncul sebagai bentuk usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Perkembangan aktivitas ekonomi tersebut pun dinamis seiring waktu. Salah satu buktinya, fenomena global masa kini, trend entrepreneurship ditunjang pasar global kemudian memberi peluang menggiurkan bagi pelakunya. Dipermudah pula dengan fasilitas berbasis online yang memungkinkan setiap orang dari berbagai kalangan untuk menjadi entrepreneur/wirausahawan dengan ruang gerak lebih luas dan peluang profit yang tinggi. Sehingga, entrepreneurship dianggap salah satu jalan menjanjikan untuk mencapai kesuksesan finansial masa kini. Kemudian, bagaimanakah idealnya seorang entrepreneur Hindu?
Jawabannya, tentu seorang yang tidak mengabaikan dharma/kebaikan. Namun, totalitas dalam entrepreneurship juga harus dilakukan. Karena basically Hindu adalah ajaran holistik yang mencakup aspek spiritual dan duniawi. Bahkan Raja Bunu memberi teladan dalam Panaturan Pasal 24; “Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu dianugerahi Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan” yang menarasikan perjalan ketiganya menemukan binatang besar nan menarik, Gajah Bakapek Bulau. Ketiganya kemudian berebut hak sebagai pemilik binatang tersebut lalu berusaha untuk menangkap dan membunuhnya. Namun, hanya Raja Bunu lah yang mampu membunuhnya dengan Duhung Papan Benteng hingga darahnya mengalir membahasahi bumi lalu berubah menjadi emas, permata, kekayaan alam, dan berbagai tanaman obat-obatan".

Raja Bunu dalam pasal tersebut meneladankan bahwa manusia sepatutnya menyadari kemampuannya. Senjata berupa Duhung Papan Benteng dibuat dari Sanaman Leteng yang adalah anugerah dari Ranying Hatalla bagi manusia yang hidup di Lewu Injam Tingang/dunia. Apabila diinterpretasikan adalah kemampuan manusia untuk berpikir/idep/kapintar-kaharati. Karena, dari semua mahluk lainnya hanya manusia yang memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir. Manusia dapat memilah hal baik dan buruk serta mendayagunakan modal fisik dan non-fisiknya untuk segala hal termasuk aktivitas ekonomi. Sehingga memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan dan memelihara kelangsungan hidupnya yang disimbolkan dengan berbagai kekayaan alam dan tanaman obat-obatan dari darah Gajah Bakapek Bulau. Dengan demikian diharapkan di era yang menuntut mobilitas tinggi,  seorang Hindu dapat aktif dan dinamis sebagai bentuk penghormatan atas anugerah Ranying Hatalla berupa kecerdasan/idep. Motivasi dari Raja Bunu tersebut dapat dijadikan semangat untuk melakukan persaingan sehat dan totalitas untuk mengepakkan sayap selebar-lebarnya di dunia entrepreneurship tanpa ragu dan dengan gagah berani. (sumber: Majalah Wartam)

Jumat, 27 Maret 2015

PENGARUH KEMAJUAN TEKNOLOGI DALAM BASARAH HINDU KAHARINGAN KALIMANTAN TENGAH


 
Dewasa ini, di Indonesia yang dikenal dengan negara agama bukanlah hal yang sulit menjumpai berbagai praktik ritual keagamaan. Dengan dikenalnya berbagai agama dengan tata caranya yang bermacam macam, khususnya agama Hindu yang memiliki keragaman tata cara di berbagai suku dan daerah di Indonesia. Seperti dikemukakan Emile Durkheim bahwa agama tidak lain merupakan sistem keyakinan dan praktik terhadap hal-hal yang sakral, yakni keyakinan dan praktik yang membentuk suatu moral komunitas pemeluknya. Serta menegaskan bahwa keyakinan-keyakinan keagamaan tidak lain merupakan refleksi dari masyarakat itu sendiri, dengan ritual keagamaan yang melaluinya solidaritas kelompok diperkuat dan kepercayaan kepada tatanan moral ditegaskan kembali.
Sehingga dapat dipahami bahwa praktik keagamaan berupa upacara, hingga persembahyangan merupakan bentuk pengapresiasian keagamaan oleh pemeluknya. seperti misalnya, di Hindu Kaharingan Kalimantan Tengah. Mengenal sarana persembahyangan berupa Sangku Tambak Raja, yang berisikan berbagai macam upakara, yaitu; wadah kuningan (sangku), beras, telur, minyak kelapa, duit singah hambaruan, bulu burung tingang, sirih pinang, rokok, bunga, beras hambaruan dalam bungkusan kain putih, dan kain alas sangku, yang memiliki  makna;
1.  Sangku, biasanya digunakan dalam setiap upacara persembahyangan (basarah) yang dalam bahasa sangiang disebut “Sangku Tambak Raja, Saparanggun dalam kangantil bawak lamiang” yang artinya sangku yang telah dilengkapi berbagai macam alat basarah. Sebagai wadah semua upakara lainnya, sangku memiliki makna penyatuan jiwa dan raga dalam melaksanakan basarah kepada Ranying Hatalla Langit Tuhan Yang Maha Esa.
2.   Beras, atau dalam bahasa sangiang dikenal dengan sebutan behas manyangen tingang. Menurut mitologi Hindu Kaharingan, Ranying Hatalla Langit menciptakan beras untuk kelangsungan hidup Raja Bunu dan keturunannya (manusia). Selain itu, beras memiliki keistimewaan sebagai penghubung Ranying Hatalla Langit dengan manusia. Seperti disampaikan dalam auh manawur: “balang bitim jadi isi, hampuli balitam jadi daha, dia balang bitim injamku akan duhung luang rawei pantai danum kalunen, isen hampuli balitam bunu bamban panyaruhan tisui luwuk kampungan bunu”. Artinya; “behas manyangen tingang, bukan saja sebagai kelangsungan hidup manusia, namun ia juga sebagai perantara manusia dengan yang kuasa, juga perantara manusia dengan leluhur.
3.    Bulu burung tingang, dikenal dalam bahasa sangiang “Tingang Rangga Bapantung Nyahu” yang memiliki makna tersendiri dari ke-khasan warna di bulu nya, yaitu berwarna putih di bagian atas, berwarna hitam dibagian tengah, dan putih di paling bawah. Adapun mengandung makna, Warna putih bagian atas, berarti alam kekuasaan Ranying Hatalla Langit ( Tuhan Yang Maha Esa) Ia  yang Maha Suci atau dalam keyakinan Hindu Kaharingan  disebut Lewu Tatau. Warna hitam ditengah, berarti alam kehidupan manusia didunia ini yang penuh dengan pertentangan, perselisihan, baik antara kebenaran dengan ketidakbenaran. Serta, Warna putih dibagian bawah berarti kesucian yang dapat dicapai melalui usaha individu melawan ketidakbenaran (adharma) yang pada saatnya, bila dihubungkan dengan upacara keagamaan Hindu Kaharingan yaitu sampai pada upacara Tiwah/Wara.
4.  Sipa (sirih pinang) dan ruku (rokok), penggunaan kedua sarana ini karena menurut kisah penciptaan dimana Manyamei Tunggul Garing dan Kameluh Putak bulau berubah wujudnya atas kehendak Ranying Hatalla menjadi Mangku Amat Sangen dan Nyai Jaya Sangiang, yang pada suatu ketika pada saat ia mengobati Raja Pampulu Hawun keduanya bagian-bagian tubuhnya berubah menjadi berbagai macam benda seperti biji mata nya berubah menjadi pinang, otaknya berubah menjadi kapur sirih, dll. Sehingga penggunaan sirih pinang dan rokok adalah perlambang penyatuan jiwa dan raga dalam pelaksanaan basarah.
5.    Duit singah hambaruan, biasanya digunakan uang yang merupakan simbol penyempurna segala kekurangan upakara. Pada jaman dahulu digunakan mata uang emas atau logam, namun seiring perkembangan jaman maka pada saat ini digunakan mata uang yang berlaku.
6.    Minyak kelapa, atau dalam bahasa sangiang dikenal sebagai minyak bangkang haselan tingang uring katilambung nyahu , memiliki makna dalam hakikatnya minyak yang licin dan berasal dari buah yang suci (buah kelapa/bua katilambung nyahu) dapat membersihkan semua kekotoran dan hal hal yang tidak baik agar tidak menempel di diri manusia.
7.    Telur ayam, yang disebut tanteluh manuk darung tingang yang diletakkan ditengah tengah antara bulu burung tingang dan minyak kelapa pada akhir upacara akan dioleskan ke tubuh peserta basarah merupakan simbol pensucian diri serta permohonan keselamatan dan kesejahteraan.
8.   Kain alas sangku, melambangkan keindahan dan diyakini sebagai perlambang keindahan alam semesta karunia Ranying Hatalla Langit.
9.  Bunga atau kembang, selalu digunakan dalam upacara basarah dan ditempatkan di Sangku Tambak Raja, maknanya agar laksana bunga tersebut yang harum semerbak, manusia akan menerima anugrah yang baik dari Ranying Hatalla Langit.
10. Beras hambaruan adalah beras yang dipilih sebanyak 7 (tujuh) biji. Biji beras yang dipilih merupakan beras terbaik, tanpa cacat kemudian dibungkus kain putih dan diletakkan di tengah-tengah sangku. Merupakan perlambang raja uju hakanduang, hanya basakati yang akan menjadi perantara Ranying Hatalla Langit memberikan anugerah kepada manusia yang pada akhir persembahyangan dibagikan kepada semua yang hadir. 
Demikianlah salah satu contoh praktik keagamaan dalam Agama Hindu Kaharingan, dimana dengan berbagai macam sarana yang telah diwariskan secara turun-temurun masih digunakan hingga saat ini. Namun, di era modern saat ini, kesulitan mencari upakara tertentu menumbuhkan kreatifitas dan daya pikir manusia. Misalnya dalam penggunaan sangku, pada masa ini cukup sukar mencari atau menemukan sangku berbahan dasar kuningan seperti yang biasa digunakan pada masa lalu. Dalam hal ini, penggunaan wadah lain misalnya mangkuk stainles, alumunium, porselen, dan lain sebagainya tidak dilarang, asalkan bersih dan layak digunakan. Tentunya penggantian beberapa upakara tidak mempengaruhi maknanya. Hal tersebut merupakan contoh pengaruh kemajuan teknologi di bidang upacara keagamaan. Sehingga, seharusnya kemajuan jaman berjalan seimbang dan memberi efek positif juga di bidang keagamaan. Yaitu mempermudah manusia melaksanakan upacara keagamaannya. Seperti halnya di Kalimantan Tengah, terkadang pada masa kini mengalami kesulitan dalam melaksanakan upacara yang menggunakan kesenian tradisional kecapi rebab. Apabila tidak memungkinkan dimainkan langsung, maka dapat diganti dengan rekaman kaset melalui audio sistem. Sehingga, upacara dapat berlangsung dengan lancar.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan juga dapat mempengaruhi sistem religi dan upacara keagamaan, untuk mempermudah kegiatan keagamaan namun tetap tidak harus menghilangkan makna dari pelaksanaannya.

Rabu, 24 September 2014

Sains dan Hindu Kaharingan; Akibat Negatif Perkawinan Sedarah

resiko akibat perkawinan sedarah. Dari seluruh penduduk dunia, kemungkinan sekitar 20-50 persen melakukan pernikahan antar kerabat dengan pasangan hidup berasal dari leluhur yang sama atau singkat disebut pernikahan sedarah. Benarkah pernikahan sedarah (garis keturunan yang dekat) berisiko mendatangkan keturunan yang cacat?

Pernikahan sedarah yang dimaksud disini adalah antar sepupu, satu marga atau yang garis keluarganya dekat, tapi bukan sedarah kandung atau incest. Pernikahan sedarah banyak terjadi biasanya si pasangan baru sadar setelah merunut garis keluarganya. Pernikahan sedarah juga terjadi pada Charles Darwin yang menikah dengan sepupu pertamanya Emma.
“Salah satu bahaya yang bisa timbul dari pernikahan sedarah adalah sulit untuk mencegah terjadinya penyakit yang terkait dengan gen buruk orangtua pada anak-anaknya kelak,” ujar Debra Lieberman dari University of Hawaii, seperti dikutip dari LiveScience. Lieberman menuturkan pernikahan dengan saudara kandung atau saudara yang sangat dekat bisa meningkatkan secara drastis kemungkinan mendapatkan dua salinan gen yang merugikan, dibandingkan jika menikah dengan orang yang berasal dari luar keluarga.

Hal ini disebabkan masing-masing orang membawa salinan gen yang buruk dan tidak ada gen normal yang dapat menggantikannya, sehingga pasti ada beberapa masalah yang nantinya bisa menyebabkan anak memiliki waktu hidup pendek. Profesor Alan Bittles, direktur dari pusat genetik manusia di Perth, Australia telah mengumpulkan data mengenai kematian anak yang dilahirkan dari pernikahan antara sepupu dari seluruh dunia.
Kondisi genetik yang lebih umum terjadi pada pernikahan kerabat adalah gangguan resesif langka yang bisa menyebabkan berbagai macam masalah, seperti kebutaan, ketulian, penyakit kulit dan kondisi neurodegeneratif.

“Hampir semua orang membawa mutasi genetik, tapi ketika suatu populasi memiliki ruang lingkup yang kecil maka mutasi gen akan menjadi lebih sering terjadi,” ungkap Prof Bittles, seperti dikutip dari BBC.

Jika dua orang yang membawa gen resesif mereproduksi, maka anak-anaknya memiliki satu dari empat kesempatan untuk memiliki kelainan tersebut dan satu dari dua anak memiliki kesempatan menjadi pembawa sifat (carrier). Hal inilah yang membahayakan pernikahan sedarah atau memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat, karena risiko penyakit atau kondisi genetik tertentu menjadi lebih besar.

Penelitian-penelitian secara populasional menunjukkan bahwa anak-anak hasil perkawinan sedarah ini memiliki risiko lebih besar menderita penyakit-penyakit genetik tertentu. Terutama yang sifat penurunannya autosomal recessive (lihat 'Apakah anak bisa normal jika menikahi keluarga albino?' dan 'Risiko menikahi pasangan dari keluarga pengidap Thalassemia').

      Pada sifat penurunan seperti ini, pembawa (carrier) tidak akan menunjukkan tanda-tanda penyakit apapun.

        Sementara itu karena orang-orang dalam satu keluarga memiliki proporsi materi genetik yang sama, maka suami istri yang memiliki hubungan saudara juga memiliki risiko membawa materi genetik yang  sama.

       Anak yang dihasilkan dari perkawinan (sedarah maupun tidak) dimana kedua orang tuanya adalah pembawa suatu penyakit genetik autosomal recessive dapat menderita penyakit tersebut (dengan kemungkinan 25%), dapat menjadi carrier juga (dengan kemungkinan 50%) atau sama sekali sehat dan bukan carrier (dengan kemungkinan 25%)
Seperti disebutkan dalam Panaturan pasal 41 ayat 44:

"Awi te puna ela sama sinde utus panakan Raja Bunu, mawi gawi salapapa, sala hurui-rinting, sala kutak pander, tingkah-lalangae umba kula bitie, keleh belum bua-buah, tau-tau mahaga karen petak danum, taluh ije belum hunjun petak , tuntang karen taluh ije belum huang danum, taluh ije jadi inyadia awi Ranying Hatalla"

Artinya:
Oleh sebab itu jangan ada anak keturunan Raja Bunu melakukan yang tidak baik, baik mengenai kesalahan silsilah, salah pembicaraan, tingkah laku, perbuatan langsung atau tidak langsung terhadap sesama mereka di dalam keluarga, sebaiknya hidup yang rukun, memelihara dengan baik tanah dan air pada lingkungan masing-masing, begitu pula terhadap mahluk dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas bumi maupun di dalam air, yang sudah disediakan oleh Ranying Hatalla bagi Pantai Danum Kalunen.

Sumber :

Blog Dokter Dewi Kusuma Stuti
Kitab Suci Panaturan

Kamis, 30 Januari 2014

Ajaran Sebab Akibat (Karmaphala) dalam Panaturan

Terimakasih kepada Ranying Hatalla Langit,
Terimakasih kepada Sahur Parapah Baragantung Langit Baratuyang Hawun,
Terimakasih kepada orang-orang suci penyampai ilmu pengetahuan suci Panaturan
Semoga menjadi terang untuk semua mahluk,

Nyahu hai kilat balawa
Auh peteh Ranying Hatalla
Kaharingan tetep dehen i-haga
Nyamah petak langit i-naheta
(Kandayu Parawei:8)

Manusia adalah mahluk dengan tingkat kecerdasan tinggi yang dianugrahi kemampuan berpikir. Kemampuan tersebut yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya yang juga mendiami bumi ini. Kecerdasan tersebut dianugrahi untuk memilah dan menelaah semua hal dalam kehidupannya. Dengan pengetahuan tersebut juga manusia menjadi lebih piawai mendayagunakan semua kekayaan alam demi meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Dalam Hindu, perbuatan dikenal dengan istilah karma. Karma adalah semua hal yang dilakukan oleh manusia yang berasal dari keinginan, pemikiran dan tindakannya yang sejalan yang kemudian menjadi perbuatan atau karma. Ketiga hal teraebut diibaratkan unsur-unsur pembentuk karma itu sendiri secara utuh.
Sedangkan karmaphala berarti hasil perbuatan atau sebab akibat. Dimana karma berarti perbuatan dan phala berarti buah atau sebab dari perbuatan yang di lakukan. Semua hal yang terjadi di dunia ini adalah perwujudan dari sebab akibat yang saling terkait. Bahkan tidak ada satu hal pun di dunia yang dapat menghindari hukum sebab akibat tersebut. Seperti halnya keseimbangan alam yang dapat berubah sewaktu waktu akibat ulah manusia yang mencemari alam. Dari karma nya tersebut manusia menanggung bencana dan ketidakstabilan alam. Namun, terkadang ketidaksadaran tentang itu membuat manusia menyalahkan Tuhan yang dianggap tidak adil memberikan "cobaan" sedemikian rupa kepada umatnya.
Padahal sesungguhnya Tuhan pun tak dapat merubah ketentuan hukum karmaphala tersebut dengan seenaknya. Karena dari sanalah keadilan lahir dan memberikan pelajaran berharga pada semua mahluk. Pikiran, keinginan dan tindakan manusia harus selalu terkendali secara sadar. Seperti halnya para yogi yang menjaga disiplin yoga nya dalam keteraturan dan mengolah dirinya untuk memutus ikatan sebab akibat dan menghilangkan samsara dari dunia materiil ini.
Pandangan tentang karmaphala adalah sesuatu yang universal, walau dipahami dengan berbagai nama di dalam banyak kebudayaan dan ajaran tentang tingkah laku. Hampir semua hukum kehidupan di dunia ini menerapkannya walau tidak secara gamblang menyatakan hal tersebut adalah merupakan bentuk hukum karmaphala dalam nama yang berbeda. Contohnya hukuman pidana bagi pelaku kejahatan yang merupakan karmaphala langsung yang diterima dari sebuah perbuatan yang merugikan baik. Seperti halnya sebuah benih ditanam, buah mangga akan menjadi pohon mangga, padi akan menjadi beras, apel akan menjadi pohon apel, dan lain sebagainya.
Dalam Panaturan, ajaran karmaphala juga disampaikan melalui kisah Raja Bunu dalam Pasal 23: Raja Sangen, Raja Sangiang, dan Raja Bunu dianugrahi, dan Pasal 24: Raja Sangen, Raja Sangiang, dan Raja Bunu dianugrahi Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan. Dalam kedua pasal tersebut diceritakan perjalanan ketiga putra Manyamei Tunggul Garing dan Kameluh Putak Bulau yang sudah beranjak remaja. Ketiga putranya tersebut gemar bermain-main dipinggiran sungai. Hingga suatu ketika Ranying Hatalla menganugrahi mereka sepotong besi di sungai ketika mereka bertiga sedang asyik mandi di sana. Begitu melihat sepotong besi tersebut, mereka bertiga berebut untuk mengambilnya.
Entah bagaimana Raja Sangen dan Raja Sangiang mengambil besi di bagian yang timbul di permukaan air dan Raja Bunu mengambil bagian yang tenggelam di air, kemudian Ranying Hatalla bersabda:

Rimae, hila puntung sanaman ije lampang, ain Raja Sangen tuntang Raja Sangiang iete puna inatap awi Ranying Hatalla ewen ndue Jatha Balawang Bulau akan mahaga pambelum ije katatahie
(Panaturan, Pasal 23:23)

Artinya:
Maksudnya, bagian ujung besi yang timbul kepunyaan Raja Sangen dan Raja Sangiang sesungguhnya sudah ditetapkan oleh Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau bahwa mereka berdua memelihara kehidupan yang kekal abadi untuk selama-lamanya.

Raja Bunu tempun hila puntung sanaman ije leteng, iatuh awi Ranying Hatalla ewen ndue Jatha Balawang Bulau mahaga Lewu Injam Tingang, pantai danum kalunen kareh ije bagin matei.
(Panaturan, Pasal 23:24)

Artinya:
Raja Bunu mendapatkan bagian besi yang tenggelam, juga telah ditetapkan oleh Ranying Hatalla dan Jatha Balawang Bulau untuk memelihara kehidupan dunia, yang sifatnya hanya sementara.

Demikian Ranying Hatalla menetapkan segala sesuatunya dari karma yang diperbuat oleh ketiga putra Manyamei Tunggul Garing dan Kameluh Putak Bulau. Bahkan ketetapan Tuhan sekalipun tidak dapat tiba-tiba muncul tanpa sebuah sebab. Demikian keseimbanga  tercipta dari hukum yang tetap dan tak dapat terelakkan. Bukan suatu takdir yang bahkan tidak diketahui apa alasan dan mengapa dapat terjadi demikian.
Seperti halnya manusia dan alam semesta yang berevolusi secara perlahan dengan saling menyesuaikan antara semua hal di dalamnya. Manusia yang berevolusi dari masa kemasa, dimana kebudayaan pun berkembang dari pembelajaran dan pengalaman yang menjadi sebab sebuah tindakan. Dimana semua itu adalah ketetapan yang akan selalu terjadi dalam keseharian manusia yang dinamis.

Selain itu dalam Panaturan Pasal 24 diceritakan ketiga putra Manyamei Tunggul Garing yaitu Raja Sangen, Raja Sangiang, dan Raja Bunu pergi berburu ke dalam hutan disekitaran Lewu Batu Nindan Tarung Kereng Liang Bantilung Nyaring. Ayah dan Ibu mereka telah berpesan sebelumnya bahwa mereka bertiga sebaiknya hanya berburu di tempat tersebut dan dilarang memasuki Bukit Engkan Penyang. Namun, Raja Sangen mengajak kedua saudaranya untuk pergi ke Bukit Engkan Penyang karena di tempat mereka berburu mereka belum mendapatkan seekorpun binatang buruan. Atas bujukan Raja Sangen, kedua saudaranya pun terbujuk untuk pergi berburu dan melanggar larangan kedua orang tua mereka.
Sesampainya disana, mereka melihat Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan dan kemudian mengejarnya. Mereka saling berebutan dantarik menarik untuk memiliki binatang tersebut. Mendengar keributan tersebut maka datanglah ayah mereka Manyamei Tunggul Garing dan berkata; "wahai anakku bertiga janganlah berebutan Gajah Bakapek Bulau tersebut, kalian bertiga dapat bersama-sama memilikinya dan memeliharanya"
Namun perkataan ayah mereka tersebut tidak diperdulikan oleh ketiganya. Raja Sangen kemudian menikam Gajah Bakapek Bulau tersebut hingga darahnya menyembur keluar. Kemudian darahnya keluar dan menjelma menjadi berbagai macam harta kekayaan. Melihat hal tersebut Manyamei Tunggul Garing kemudian mengusap luka bekas tikaman Raja Sangen dan kemudian luka tersebut hilang tak berbekas.
Namun, Raja Sangiang kembali menikam Gajah Bakapek Bulau dan darahnya yang menyembur keluar kembali menjadi berbagai harta kekayaan. Tetapi, lagi -lagi Manyamei Tunggul garing mampu menghilangkan dan menyembuhkan kembali luka tersebut dengan usapannya. Hingga akhirnya tiba saatnya Raja Bunu menikam Gajah Bakapek bulau tersebut dan kemudian:

Sukup jadi daha Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan panjanjuri, ie uluh tingang apange Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, nekap marut awan tambekan Duhung Papan Benteng Raja Bunu kueh tau halit haluli.
(Panaturan Pasal 24:35)

Artinya:
Masih bercucuran darah Gajah Bakapek Bulau, Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan keluar maka ayahnya Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut kembali mengusap bekas tikaman Duhung Papan Benteng Raja Bunu namun tidak dapat kembali seperti semula.

Demikian kemudian darah yang mengalir menjadi semua harta kekayaan yang terkandung di dunia. Memenuhi sungai-sungai dan menjadi semua logam mulia. Menjadi juga kayu-kayuan sumber kehidupan umat manusia, menjadi obat-obatan penangkal segala macam penyakit.
Demikianlah semua hal tersebut terjadi pada asal mulanya.

Makna filosofis dari semua cerita Kitab suci Panaturan trrsebut adalah, hukum sebab akibat ada dalam keseharian manusia. Seperti halnya kelahirannya dalam dunia tidak kekal disebabkan karmaphala yang masih tersisa dan tidak habis diterima dalam kehidupan trrdahulu nya (prarabdha karmaphala), seperti halnya ketentuan Ranying Hatalla kepada Raja Bunu. Sehingga itulah yang disebut Tuhan Maha Adil dalam Hindu. Selain itu manusia diajarkan untuk selalu waspada dan bertanggungjawab terhadap semua tingkah laku nya. Semua hal yang ada di dunia ini bukan tanpa alasan muncul begitu saja. Seperti halnya sumber segala pengetahuan (Vid) yang suci yang tercipta dari karma dan karya para Sapta Rsi penerima wahyu, dimana semua adalah sebab dari perenungan kembali dan juga pembelajaran serta tapa brata yang kuat untuk menemukan semua hal baik yang dapat membantu kelangsungan hidup manusia. Sehingga manusia adalah sebab dari semua akibat yang ada. Jadi, berlakulah sadar dalam kesadaran karmaphala untuk keselarasan dan keseimbangan mikro dan makro kosmos.